• Biografi Tokoh Islam

    Kumpulan Biografi Para Tokoh Islam Ternama dan Sejarah Perkembangan Islam Dunia

  • Biografi Penemu Dunia

    Kumpulan Biografi Para Penemu Terkenal di Dunia dan Sejarah Pertama Penemuannya

  • Biografi Pahlawan Indonesia

    Kumpulan Biografi Para Pahlawan Nasional Indonesia dan Sejarah Perjuangan Indonesia

Showing posts with label Orang Tua. Show all posts
Showing posts with label Orang Tua. Show all posts

Ummu Aiman Ibu Susuan Nabi Muhammad

Ummu Aiman Ibu Susuan Nabi MuhammadUmmu Aiman atau Barkah binti Tsa’labah / Aiman Al-Baraqa (Bahasa Arab لم يتم إيجاد أي عنوان مطابق) Ia seorang Ibu susuan Muhammad dan Salah seorang sahabat nabi. Nama lengkapnya adalah Barkah binti Tsa’labah bin ’Amr bin Hishn bin Malik bin Salamah bin ’Amr bin Nu’man berasal dari Habsyi (sekarang Ethiopia).

Ummu Aiman adalah seorang hamba sahaya yang diwariskan kepada Muhammad oleh ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ummu Aiman mengasuh Muhammad sampai usia dewasa. Dia dimerdekakan setelah Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, kemudian dinikahi oleh ’Ubaid bin Al-Harits dari suku Khazraj. Dari pernikahannya dengan ’Ubaid, lahirlah Aiman. Aiman ikut hijrah dan berjihad bersama Muhammad dan gugur sebagai syahid dalam Perang Hunain.

Muhammad sangat menghormati Ummu Aiman. Suatu ketika dia mengunjunginya dan berkata, ”Wahai Ibu!” Dia juga pernah berkata, ”Wanita ini adalah anggota keluargaku yang masih tersisa.” Pada kesempatan lain dia juga pernah berkata, ”Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku (wafat).”

Ummu Aiman mengasuh Muhammad kecil dengan penuh kelembutan. Setelah Muhammad diangkat menjadi rasul, dia pernah berkata, ”Barang siapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga, maka hendaklah ia menikahi Ummu Aiman.” Mendengar sabda dia, Zaid bin Haritsah segera menikahinya. Dari pernikahannya dengan Zaid, lahirlah Usamah bin Zaid, lelaki kesayangan Muhammad.

Ketika Allah memerintahkan kaum muslim untuk hijrah ke Madinah, Ummu Aiman termasuk angkatan pertama yang turut hijrah ke Madinah. Dia melakukan hijrah dengan berjalan kaki, tanpa bekal, dan dalam keadaan puasa walaupun cuaca saat itu sangat panas, sehingga ia mengalami kehausan yang sangat. Selanjutnya, Allah memberikan kemurahan kepadanya dengan menurunkan dari langit satu timba air dengan tali timba yang berwarna putih. Dia pun meminumnya sampai puas.

Dalam sebuah riwayat, Ummu Aiman berkata, “Sesudah minum air itu, aku tidak merasakan haus lagi. Meskipun aku berpuasa di tengah hari yang biasanya aku merasa haus, kini aku tidak merasakan haus setelah minum air itu. Sejak saat itu, jika aku berpuasa pada hari yang sangat panas, aku tidak pernah merasakan haus."

Muhammad memperlakukan Ummu Aiman layaknya ibu dia sendiri. Suatu saat Ummu Aiman mendatangi dia dan berkata, ”Wahai Rasulullah, bawalah aku.” Dia berkata, ”Aku akan membawamu di atas anak unta.” Ia berkata lagi, ”Wahai Rasulullah, anak unta tidak sanggup menahan bebanku. Aku tidak mau.” Dia berkata, ”Aku tidak mau membawamu, kecuali di atas anak unta." Rasulullah memang ingin mencandai Ummu Aiman, karena setiap unta itu pastilah anak unta yang lain. Begitulah Rasulullah, bahkan dalam bercanda pun, dia tetap mengatakan sesuatu yang benar.

Ummu Aiman adalah wanita yang cedal (susah berbicara). Suatu ketika Ummu Aiman datang kepada Muhammad dan berkata, “Salaamun laa ’alaikum” (Semoga keselamatan tidak terlimpahkan kepadamu). Muhammad pun memaklumi ucapan salamnya itu, karena yang dia maksudkan sebenarnya adalah, ”Assalamu ’alaikum” (Semoga keselamatan tetap terlimpahkan kepadamu).

Di samping sifat-sifatnya yang terpuji, Ummu Aiman juga seorang wanita yang selalu ingin bergabung bersama pahlawan Islam dalam memerangi musuh-musuh Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya, kendatipun usianya sudah tua. Dia ikut di medan perang Uhud. Di sana dia berusaha memanah sekuat kemampuannya, memberi minum pasukan yang kehausan, dan mengobati mereka yang terluka. Dia juga turut menyertai Muhammad dalam Perang Khaibar.

Setelah Muhammad wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar, ”Marilah kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Muhammad juga pernah mengunjunginya.” Namun mereka berdua mendapati Ummu Aiman sedang menangis. Abu Bakar dan Umar bertanya, ”Apa yang membuatmu menangis? Bukankah tempat di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?” Ummu Aiman menjawab, ”Aku menangis bukan karena tidak tahu bahwa tempat di sisi Allah adalah lebih baik bagi Muhammad. Aku menangis karena wahyu sudah terputus dari langit.” Mendengar jawaban itu Abu Bakar dan Umar pun ikut menangis bersamanya.

Ummu Aiman wafat pada masa khalifah Utsman bin Affan, bertepatan 20 hari setelah wafatnya Umar. Semoga Allah mencurahkan rahmat-nya kepada Ummu Aiman, wanita yang berhijrah dengan berjalan kaki dalam keadaan puasa, inang pengasuh Muhammad.

Fatimah binti Asad Ibu Angkat Rasulullah SAW

Fatimah binti Asad Ibu Ali bin Abi ThalibPada tahun ke-9 hijrah, Ummul Mukminin Khadijah pulang ke rahmatullahi menghadap ilahi. Rasulullah saw sangat sedih atas pemergian Khadijah, ini kerana Khadijah adalah orang yang paling banyak membantu perjuangan Rasulullah saw. Selepas Khadijah ra tiada tetapi 'Khadijah' lain yang membantu berjuang demi islam agar terus berkembang. Fatimah binti Asad Pengganti Khadijah dan Abu Thalib. Hal ini terbukti apabila Khadijah wafat dia meninggalkan seorang wanita yang setia menjaga Rasulullah saw. Dia ialah seorang wanita yang lembah-lembut, pandai serta mempunyai kedudukan yang tinggi melebihi wanita yang lain. Dia adalah wanita bernama Fatimah binti Asad.

Dia adalah Fatimah bint Asad ibn Hasyim ibn Abd Manaf. Beliau adalah istri dari Abu Thalib, paman Rasulullah SAW. Beliau juga merupakan ibu dari sepupu Rasulullah SAW dari Abu Thalib : Ali, Thalib, ‘Aqil, Ja’far, Ummu Hani, Jumanah dan Raythah. Beliaulah yang mengasuh secara langsung Rasulullah SAW selama beliau ada di rumah Abu Thalib bersama Ummu Aiman sebagai pembantu mereka. Fatimah bint Asad baru masuk islam setelah suaminya Abu Thalib meninggal.

Beliau berba’iat dengan Rasulullah SAW dan menjadi muslimah yang baik. Beliau ikut berhijrah ke Madinah dan setelah itu ikut berperan dan membantu Rasulullah SAW dalam perjuangannya dan peperangannya. Selain itu, beliau juga berperan besar dalam mendidik dan membesarkan putra putrinya yang kesemuanya merupakan orang-orang yang sangat berperan dalam perjuangan Rasulullah SAW.

Fatimah binti Asad merupakah isteri Abu Thalib bin Abdul Mutalib, ibu saudara dan pemimpin kaum muslimin. Fatimah binti Asad juga adalah ibu kepada Saidina Ali bin Abi Thalib Amirul Mukminin. Fatimah binti Asad pula menggantikan kedudukan dua insan yang Rasulullah saw sayangi Khadijah dan Abu Thalib selepas meninggal dunia. Hal ini berterusan sehingga Rasulullah saw berhijrah ke Madinah bersama-sama kaum muslimin yang lain. Imam Az-Zahabi berbicara tentang Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manf bin Qushay. Selain ibu kepada Saidina Ali bin Abi Thalib adalah merupakan suami kepada Fatimah Az-Zahra anak perempuan Rasulullah saw merupakan wanita pertama suku Bani Hasyim yang pertama berhijrah ke Madinah.

Tentang keagungan wanita ini, Ibnu Said berkata:"Dia adalah wanita yang sangat solehah. Bahkan Nabi saw sering mengunjungi dan qailullah (berehat di sianghari) di rumahnya." Manakala mengenai waktu beliau meninggal dunia para ulama berselisih pendapat. Menurutnya Ibnu Hajar Fatimah bin Asad meninggal dunia sebelum hijrah Rasulullah saw. Namun pendapat yang lebih rajih, mengatakan beliau meninggal selepas hijrah kerana menyusul Rasulullah saw ke Madinah dan meninggal. Hal ini diperkuatkan ada pendapat Asy-Sya'bi mengatakan bahawa dia memeluk islam di Makkah kemudian berhijrah ke Madinah dan meninggal dunia.

Catatan terakhir tentang keagungan wanita ini jelas daripada hadis yang dikeluarkan Ibnu Abi Ashim daripada Abdullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Abu Thalib daripada bapanya ketika meninggal dunia Rasulullah saw mengapankan jasad Fatimah binti Asad dengan bajunya. Dari ibn Abbas :”Ketika Fatimah bint Asad ibn Hasyim, ibunda Ali ibn Abi Thalib meninggal, Rasulullah SAW membuka bajunya dan mengkafani Fatimah bint Asad ibn Hasyim dan Rasulullah SAW berbaring di liang lahatnya, sesudah pemakaman selesai, para sahabat bertanya, wahai Rasulullah, Engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah Engkau lakukan pada orang lain. Beliau menjawab : Aku memakaikannya bajuku supaya beliau memakai pakaian Ahli Surga dan aku berbaring di liang lahatnya dengan harapan dapat meringankan himpitan kuburnya, beliau termasuk orang yang sangat berjasa kepadaku sesudah Abu Thalib.”

Di riwayat yang lain Rasulullah SAW mendoakannya sesudah berbaring di liang lahatnya, “Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dia-lah yang Maha Hidup dan tidak akan mati, ampunilah ibuku dan berilah hujjah baginya, lapangkanlah kuburnya, demi Nabi-Mu dan nabi-nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Beliau meninggal di Madinah. Ketika meninggal, Rasulullah SAW yang mengkafankannya, bahkan dengan menggunakan bajunya. Beliau juga yang ikut turun ke liang lahat bahkan sempat tiduran disisinya. Setelah keluar dari liang lahat, Rasulullah SAW terlihat menangis. Melihat hal yang di luar kebiasaan itu, Umar bertanya :

Wahai Rasulullah, kenapa kamu melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau lakukan terhadap orang lain? Rasulullah SAW menjawab : Wahai Umar, perempuan ini di mataku adalah seperti ibu yang melahirkanku. Ketika Abu Thalib mencari nafkah, beliaulah yang menyiapkan makanan dan aku makan bersama mereka. Ketika para sahabat bertanya hal yang sama, Rasulullah SAW menjawab : Sesungguhnya, tidak ada orang yang berbuat lebih baik kepadaku setelah Abu Thalib dari dia. Aku pakaikan bajuku dengan harapan dia dipakaikan baju dari surga, aku tiduran di liang lahatnya dengan harapan dia diringankan dari azab kubur.

Oleh kerana itu Rasulullah saw tidak melupakan kebaikan Fatimah kepada Baginda dan anaknya Saidina Ali bin Abi Thalib. Dia sangat mengambil berat tentang menantunya, Fatimah binti Rasulullah saw dan membantu dalam urusan yang menjadi kewajipan seorang isteri. Dalam riwayat Al-Amasy daripada Amru bin Marah daripada Abu al-Bukhtari daripada Ali bahawa Ali berkata :Aku pernah berkata kepada ibuku, Cukuplah Fatimah sahaja yang mengambil air dan keluar apabila ada keperluan. Cukuplah bagi kamu untuk mengadun tepung untuk membuat roti." Oleh kerana kebaikannya itu, Saidina Ali (anaknya) pernah menegur agar jangan terlalu membantu Fatimah."

Semasa hidupnya, Fatimah binti Asad dikenali sebagai wanita yang mempunyai banyak pengetahuan agama dalam meriwayatkan hadis sebanyak 46 hadis. Dalam kitab Shahihain dia meriwayatkan satu hadis Muttafaq'alaih. Sebagaimana diketahui bahawa Fatimah binti Asad adalah wanita contoh penolong agama Allah sekaligus pendamping setia Rasulullah saw. Oleh kerana itu, wajarlah ketika meninggal Rasulullah saw berada bersamanya. Bahkan Baginda sendiri turun ke liang lahad untuk membaringkan jasad sucinya. Sehingga terpancar cahaya illahi dalam kuburnya dengan semerbak roh sucinya dan curahan rahmat Sang Pencipta, Allah SWT.

Ketika ada sahabat bertanya kepada Rasulullah saw,"Wahai Rasulullah kami belum pernah melihat kamu berbuat kepada seseorang seperti mana yang kamu lakukan pada wanita ini (Fatimah binti Asad)." Rasulullah saw menjawab,"Sesungguhnya tidak ada orang yang yang lebih baik kepadaku setelah Abu Thalib meninggal dunia selain dia." Begitulah Allah SWT memberikan keutamaan pada seseorang yang dikehendakiNya. Hanya Dia Pemilik Keutamaan Yang Paling Agung.

Halimah As-Sa'diyah Ibu Susu Rasulullah SAW

Halimah As-Sa'diyah Ibu Susu RasulullahHalimah As-Sa'diyah (Arab:حليمة السعدية) adalah ibu susu dari Nabi Muhammad. Ia dan suaminya berasal dari suku Hawazin. Halimah As-Sa'diyah memiliki beberapa nama, yaitu Halimah binti Abdullah dan Halimah bint Abi Dhuayb.

Bani Hawazin adalah salah satu kabilah Arab keturunan Qais 'Ailan, yaitu suku bangsa Arab yang menetap di wilayah sekitar Tha'if di Arabia. Keturunan Bani Hawazin tersebar di Timur Tengah dan Afrika Utara sebab anggota mereka banyak terlibat dalam penaklukan Muslim ke Suriah, Irak, Mesir, Afrika Utara (terutama Bani Hilal atau Bani Sulaim) dan Spanyol. Keturunan mereka di Suriah umumnya adalah Muslim Sunni, sedangkan keturunan mereka di Arabia saat ini dikenal dengan nama 'Utaibah.

Tangis bayi yang baru lahir terdengar dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim di Makkah pada 12 Rabiul Awwal 571 M. Bayi itu lahir dari rahim Aminah dan langsung digendong seorang bidan yang bernama Syifa', ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf. Bayinya laki-laki. Aminah tersenyum lega. Tetapi seketika ia teringat mendiang suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang telah meninggal enam bulan sebelumnya di Yastrib (Madinah). Bayi laki-laki itu oleh kakeknya diberi nama Muhammad (Yang Terpuji).

Kelahiran bayi yatim yang kelak menjadi Rasul terakhir itu dituturkan dalam Alquran, ''Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?'' (QS Adh-Dhuha [93]: 6). Aminah, janda beranak satu itu, hidup miskin. Suaminya hanya meninggalkan sebuah rumah dan seorang budak, Barakah Al-Habsyiyah (Ummu Aiman). Sementara sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab waktu itu, bayi yang baru dilahirkan akan disusukan kepada wanita lain.

Wanita yang dipilih biasanya adalah wanita dusun. Alasannya supaya si anak dapat hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku. Menunggu jasa wanita yang menyusui, Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil, selama tiga hari. Lalu dilanjutkan oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab, paman Nabi Muhammad.

Kemudian Muhammad dan bayi kalangan terpandang Arab akan disusui oleh murdi'at (para wanita yang menyusui bayi). Muhammad ditawarkan kepada murdi'at dari Bani Sa'ad yang sengaja datang ke Makkah mencari bayi-bayi yang masih menyusu dengan harapan mendapat bayaran dan hadiah. Namun, mereka menolak karena Muhammad adalah anak yatim. Tapi, di antara mereka ada Halimah Sadiyah yang belum mendapatkan seorang bayi yang akan disusui. Karena itu, ia mengambil Muhammad sebagai anak susuannya.

Halimah (yang berarti lemah lembut) lantas membawa Muhammad ke dusunnya. Keberadaan Muhammad kecil memberi berkah kepada keluarga Halimah, bahkan bagi kabilahnya. Semula, Halimah hidup serba kekurangan. Tapi semenjak mengasuh Rasulullah, kehidupan rumah tangga Halimah berubah total. Keluarga tersebut kini hidup penuh kedamaian, kegembiraan, dan berkecukupan. Dua tahun kemudian, Halimah membawa Muhammad kecil mengunjungi ibunya. Halimah memohon agar Muhammad diizinkan tinggal kembali bersama Bani Sa'ad. Aminah pun menyetujui.

Selama empat tahun Muhammad bersama mereka kembali. Dusun itu bertambah keberkahan. Domba-domba yang dipelihara Halimah menjadi gemuk dan banyak memberikan air susu walaupun rumput di daerah mereka tetap gersang. Karena itulah, warga menyuruh anak-anak menggembalakan domba-domba mereka di dekat domba milik Halimah. Harapannya agar domba milik mereka bisa berubah gemuk dan mengeluarkan banyak susu. Selain itu, saat mengambil Muhammad sebagai anak susuan, susu Halimah bertambah banyak. Ia pun heran. Sebab, selama ini susunya bukan tidak ada tapi tidak begitu banyak. Namun, semenjak mengasuh anak Fatimah, air susunya berlimpah.

Anehnya lagi ketika sudah menyusu di susu sebelah dan hendak diberikan sebelah lain lagi, Muhammad menutup mulut kuat-kuat. Halimah faham Muhammad menginginkan susu yang sebelah adalah untuk saudara sesusuannya, Damrah. Sejak kecil Allah SWT memang sudah memasukkan jiwa keadilan pada Muhammad kecil, dia tidak ingin mengambil bagian yang bukan untuknya. Muhammad pun tak pernah menangis, tidak seperti anak kecil lainya yang pasti menangis. Muhammad cilik baru dikembalikan ke Makkah setelah terjadi peristiwa pembelahan dada. Suatu hari, dua malaikat datang menghampirinya dengan membawa bejana emas berisi es. Mereka membelah dada Muhammad dan mengeluarkan hatinya.

Hati itu dibedah dan dikeluarkanlah gumpalan darah yang berwarna hitam. Kemudian dicuci dengan es. Setelah itu dikembalikan seperti semula. Mendengar itu, Halimah khawatir dengan keselamatan Muhammad cilik. Ia dan suaminya sepakat mengembalikannya kepada ibunya. Setelah diserahkan, Halimah sudah tidak mengetahui lagi kabar tentang Muhammad, sebab untuk mendapat informasi di zaman itu sangatlah susah. Baru ketika usia Muhammad 40 tahun, terdengarlah berita oleh Halimah, rupanya anak susuannya menjadi Rasul Allah. Namun, dia kesulitan menemui Rasulullah SAW. Halimah memeluk Islam dari orang lain dan bukan dari Rasulullah SAW. Hingga suatu hari akhirnya Halimah dapat berjumpa kembali dengan Rasulullah SAW. Halimah pun merasakan kebahagiaan luar biasa. Selepas itu Halimah meninggal dunia. Itulah terakhir kalinya dia berjumpa dengan Rasulullah SAW, putra susuannya itu.

Abdullah dan Aminah Orang Tua Rasulullah

Abdullah bin Abdul Muththalib dan Aminah binti WahabAbdullah bin Abdul Muththalib (bahasa Arab: عبدالله بن عبد المطلب), atau Abdullah bin Syaibah (عبدالله بن شيبة), adalah ayah dari Nabi Muhammad, yang merupakan anak termuda dari sepuluh bersaudara.[1][2] Istrinya, atau ibu Nabi Muhammad, bernama Aminah binti Wahab. Dari perkawinannya ini, ia hanya memiliki satu anak saja, yaitu Muhammad.[3] Abdullah meninggal dunia dalam perjalanan dagang ke Syam, yakni sewaktu Muhammad masih dalam kandungan sang ibu.[1] Ia meninggal saat usianya mencapai 25 tahun, tepatnya ia lahir di tahun 545 dan meninggal di tahun 570.

Silsilah lengkapnya adalah: Dalam huruf latin, 'Abdullah bin 'Abdul Muththalib bin Hasyim (Amr) bin Abdu Manaf (Al-Mughirah) bin Qushay (Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka`b bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr (Quraisy) bin Malik bin an-Nadr (Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma`ad bin Adnan. Ayah Abdullah, yaitu Syaibah bin Hasyim, lebih dikenal dengan nama panggilannya (bahasa Arab: كنية, kunya) yaitu Abdul Muththalib.

Kelahiran Abdullah merupakan periode kelima dari periode perhitungan Arab di zaman Jahiliyyah, bahkan bisa dikatakan bahwa waktu kelahirannya bersamaan dengan waktu penggalian sumur Zamzam. Ketika menikah dengan Aminah, usianya kira-kira baru mencapai 24 tahun, sedang sang ayah sudah tujuh puluh tahun yang mana ketika itu Abrahah menyerang kota Mekkah dan berusaha menghancurkan Ka'bah.

Sebelum menikah, Abdul Muththalib membawanya ke kawasan Bani Zuhrah untuk menemui Wahab bin Manaf bin Zuhrah, ayah dari Aminah yang juga menjadi pemimpin kaumnya yang terpandang serta berpengaruh. Setelah itu, barulah mereka menyampaikan lamaran. Namun, sebagian ahli sejarah berbeda pendapat mengenai hal ini, mereka mengatakan bahwa Abdullah ketika itu tidak pergi ke rumah Wahab, melainkan ke rumah Ahyab (paman) karena kala itu ayah Aminah sudah meninggal dunia.

Aminah Az- Zuriyah binti Wahab (Aminah binti Wahab) (???-577) (Bahasa Arab: آمنة بنت وهب) adalah ibu yang melahirkan Muhammad, Nabi Islam. Aminah menikah dengan Abdullah. Tidak terdapat keterangan mengenai lahirnya dia, dan menurut sejarah ia meninggal pada tahun 577 ketika dalam perjalanan menuju Yatsrib untuk mengajak Muhammad mengunjungi pamannya dan melihat kuburan ayahnya. Aminah dilahirkan di Mekkah. Ayah Aminah adalah pemimpin Bani Zuhrah, yang bernama Wahab bin Abdulmanaf bin Zuhrah bin Kilab. Sedangkan ibu Aminah adalah Barrah binti Abdul-Uzza bin Usman bin Abduddar bin Qushay.

Abdul Muthalib bin Hasyim Kakek Rasulullah

Abdul Mutthalib bin Hasyim Kakek RasulullahSyaibah bin Hâsyim (Arab: شيبة بن هاشم) (lahir 497 – 578) lebih dikenal dengan nama Abdul Muththalib atau 'Abd al-Muththalib (artinya hamba Muththalib) sejak ia dibesarkan oleh pamannya Muththalib. Suatu ketika Muththalib bepergian dengan hewan tunggangan sambil memboncengi Syaibah. Masyarakat yang melihatnya mengira yang diboncengi Muththalib adalah budaknya. Sejak itu Syaibah dipanggil dengan sebutan Abdul Muththalib. Ia merupakan kakek dari Nabi Muhammad dan Ali. Ia sebagai pemimpin kaum Quraisy, sempat bertemu dan berbicara dengan Abrahah, seorang penguasa dari Yaman yang ingin menghancurkan Ka'bah. Abrahah al-'Asyram (Arab أبرهة الأشرم, Abrahah Al Habsyi) adalah seorang gubernur dari Abyssinia (Kekaisaran Ethiopia) yang telah berhasil menaklukan dan menjadi Raja Saba (Yaman).

Procopius mencatat bahwa Abrahah dulu pernah menjadi seorang budak belian dari Kerajaan Byzantium di Adulis, sementara al-Tabari mengatakan bahwa ia masih memiliki hubungan dekat dengan keluarga Kerajaan Aksum. Abrahah terkenal karena kepemimpinannya dalam melakukan agresi militernya terhadap orang-orang Quraisy di Mekkah yang terjadi sekitar tahun 570, seperti yang diceritakan dalam kisah Islam khususnya dalam al-Fil.

Dikisahkan bahwa Abrahah ingin menghancurkan Kakbah dengan mengirim pasukan gajah, dikisahkan Abrahah dan para tentaranya mati seperti "daun yang dimakan ulat" setelah dijatuhi batu-batu panas yang berasal dari neraka oleh burung ababil, kejadian ini terjadi pada tahun yang dikenal sebagai Tahun Gajah. Dikisahkan juga bahwa Abrahah telah mengatakan untuk membangun sebuah katedral di San'a yang dikenal sebagai "al-Qulays" Sebagai tandingan Ka'bah di Mekkah dan secara khusus ia datang bersama dengan pasukan gajahnya untuk menghancurkan Ka'bah.

Quraisy (bahasa Arab: قر يش) adalah nama seorang leluhur dari nabi dan rasul agama Islam yaitu Muhammad. Nama lain dari Quraisy adalah Fihr (atau Fahr). Dalam bahasa lain, Quraisy juga disebut dengan "Quresh", "Qurrish", "Qurish", "Qirsh", "Quraysh", "Qureshi", "Koreish", dan "Coreish". Suku Quraisy (bahasa Arab: قريش‎ الأمة​) adalah suku bangsa Arab keturunan Ibrahim, mereka tinggal dan hidup di Mekkah dan daerah sekitarnya. Quraisy yang hidup di Mekkah disebut Quraisy Lembah, sementara yang lain tinggal lebih jauh mengelilingi Mekkah dikenal dengan Quraisy Pinggiran.

Penamaan Quraisy berasal dari nama lain Fihr yang merupakan leluhur Nabi Muhammad, nabi dan rasul utama agama Islam. Di mana Fihr kemudian menurunkan sampai Qushay bin Kilab. Silsilah lengkapnya adalah sebagai berikut, Muhammad bin Abdullah bin 'Abd al-Muththalib bin Hâsyim bin 'Abd al-Manâf bin Qushay bin Kilab bin Murra bin Kaa'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy (Fihr) bin Malik bin Nazar bin Kinanah bin Khuzaymah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mazar bin Nazar bin Ma'ad bin Adnan bin Ismail bin Ibrahim.

Suku Quraisy pada saat itu terkenal sifatnya akan kekacauan, sukar dikendalikan, terpecah belah antar suku, kasar, saling bermusuhan, sangat penuh perasaan, fasih berbicara dan puitis. Quraisy menjadi suku terkemuka di Mekkah sejak sebelum kelahiran Muhammad dan pada dasarnya menguasai kota. Sebelum kelahiran Muhammad, suku ini terbagi menjadi beberapa klan, masing-masing memiliki tanggung jawab yang berbeda atas kota Mekkah dan Ka'bah. Terjadi rivalitas antarklan, dan makin meruncing selama Muhammad hidup.

Beberapa pemimpin klan tidak menyukai klaim Muhammad akan kenabian dan mencoba menghentikannya dengan menekan pemimpin Bani Hasyim saat itu, Abu Thalib. Banyak pula dari klan tersebut yang menghukum pengikut Muhammad, seperti melakukan boikot. Hal inilah yang menyebabkan keluarnya perintah hijrah ke Ethiopia, dan kemudian ke Madinah. Setelah Penaklukan Kota Makkah pada tahun 630, Muhammad memaafkan orang Quraisy yang sebelumnya menekan dan memusuhinya, kedamaian terjadi. Setelah meninggalnya Muhammad, rivalitas klan meningkat, terutama siapa yang berhak menjadi Khalifah, hal yang menyebabkan terjadinya pemisahan Sunni dan Syi'ah.