Al-Hafizh al-Imam Abdullah bin Abdul Rahman bin Fadhl bin Bahram bin Abdillah abu Muhmad ad-Darimi as-Samarqandi atau ad-Darimi yang bernama lengkapnya Darim bin Malik bin Handalah bin Zaid bin Munah bin Tamim dilahirkan pada taun 181 H (ada juga yang berpendapat 182) atau bertepatan dengan tahun 797 M. Sebagai seorang yang bertekad menjadi penyebar hadits dan sunnah, maka syarat-syarat sebagai seorang rawi sejati menjadi satu kemestian untuk dimiliki. Diantaranya ia mesti terlebih dahulu belajar dan berguru.
Guru-guru beliau adalah Yazid bin Tharus, Nadzar bin Syumail (paling awal meninggal diantara guru-gurunya), imam Muslim dan yang lainnya.[5] Dan setelah mendapatkan ilmu dan memulai menapaki masa-masa kematangan intelektualnya, beliaupun mulai mengajar dan berkarya. Sedangkan murid-murid beliau adalah Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Abdullah bin Beumaid (ia adalah murid paling awal). Sementara itu karya beliau adalah Sunan ad-Darimi (ada juga yang menyebutnya al-Jam’u ash-Shahiih), Tsulutsiyat (kitab hadits), al-Musnad, dan Tafsir, karenanya menjadi tidak mengherankan jika kemudian para ulama memuji dan menyanjung keilmuan beliau.
1. Imam Ahmad bin Hanbal memuji beliau dan menggelarinya dengan gelar “imam” dan berpesan agar menjadikannya rujukan (seraya ucapannya diulang-ulang).
2. Muhamad bin Basyar (bundar) berkata : “penghapal kaliber dunia ada empat: Abu Zur’ah ar-Razi, Muslim an-Nasaiburi, Abdullah bin Abdul Rahman di Samarqandi dan Muhamad bin Ismail di Bukhari”.
Abu Harits ar-Razi berkata: “…dan Abdullah bin Abdurrahman paling kuat (atsbat) di antara mereka (Bukhari, Muhamad bin Yahya dan Muhamad bin Aslam).
Sebagai seorang imam (barangkali profesor/guru besar sekarang) ilmu yang dikuasainya tidak terbatas kepada satu macam saja. Pantas saja jika para ulama menempatkan beliau sebagai seorang ahli tafsir yang sempurna mumpuni dan seorang ahli fiqh yang alim.
Sudah barang tentu, penghargaan ulama seperti ini kepada beliau bukanlah datang dengan tiba-tiba –bim salabim–. Hal ini merupakan buah atau hasil dari sebuah proses panjang dalam hidup rabbani.
Abu Bakar al-Khilib al-Baghdadi melukiskan hal ini dalam buku beliau tarikh baghdad, dan kemudian di nukil oleh adz-Dzahabi, ia berkata: “ia salah seorang pengembara sejati dalm mencari hadits atau memiliki kekuatan hapalan, dalm mengumpulkan hadits secara propesional (itqan)……”.
Adz-Dzahabi menjulukinya dengan tawafal (mengelilingi banyak negeri) menjadi seorang imam, tentu saja sebuah gelar yang besar/agung. Kebesaran ini menjadi lengkap, karena ternyata beliau memang seorang imam seperti dalam makna yang sesungguhnya, luar dalam.
Muhamad bin Ibrahiem bin Manshur as-Saerozi: “Abdullah adalah puncak kecerdasan dan konsistensi beragama, di antara orang yang menjadi teladan/perumpamaan dalam kesantunan, keilmuan, hafalan, ibadah dan juhud….”. Bahkan imam Ahmad pernah menyebutkan bahwa suatu ketika ditawarkan kepada beliau materi (dunia) tetapi beliau tidak menerimanya.
Beliau meninggal dunia pada hari Kamis, 8 Dzulhidjah (hari tasriah) setelah ashar tahun 225 H /69 M, dalam usia 75 tahun. Dan dikuburkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah).
Kitab “Sunan” - Dari dua ahli sejarah lama, Adzahabi dan Ibnul Imad,[17] menyebutnya dengan “al-Musnad” juga dalam photo copy manuskrip (makhtuth) di Tendiyas India. Dan dari dua ahli sejarah kontemporer, Umar Ridla Kahalah dan ad-Darakli, menyebutkan dengan “as-Sunan atau Sunan ad-Darimi”. Dan setelah mempelajari susunan bab-bab (kitab yang telah di cetak) disusun sesuai dengan bab-bab fiqh, maka lebih tepat di sebut dengan “Sunan”.
Kedudukan Sunan ad-Darimi - Sunan ad-Darimi, mendapatkan perhatian lebih dari para peneliti (bahitsin), terutamanya setelah muncul al-Mujtamul Mufahrats Li Alfazdil Hadits, dimana Sunan ad-Darimi menjadi salah satu rujukan Mu’jam tersebut, sehingga jika kemudian disebut Kutub at-Tis’ah, maka masuklah Sunan ad-Darimi di dalamnya. Adapun dalam tulisan-tulisan ulama terdahulu, tentang pembahasan-pembahasan atau istilah-istilah tertentu yang berkaitan dengan kitab-kitab hadits, maka jarang di masukkan.
Dari contoh-contoh riwayat beliau yang di nukil sebagian oleh adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar ‘Ilam Nubala, dapat disimpulkan, bahwa sebagian hadits beliau ada yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, artinya riwayatnya termasuk kategori shahih. Dan ada yang masuk dalam kategori Gharibul Isnad. Seperti halnya karakter dari kitab sunan yang menekankan kepada hadits-hadits hukum, maka kemungkinan adanya hadits-hadits yang tidak shahih adalah wajar. Karena para penulis (mukharrij sunan) tidak mensyaratkan hal itu (hanya meriwayatkan yang shahih saja). Wallahu ‘alam.