Izz al-Din' Abd al-'Aziz ibn 'Abd al-Salam ibn Abi' l-Qasim bin al-Hasan al-Dimashqi, Sultan al-'Ulama / Sulthanul Ulama, Abu Muhammad al-Sulami, adalah seorang mujtahid terkenal, teolog, ahli hukum dan otoritas Syafi'i terkemuka dari generasinya. Muhammad 'Abdul 'Aziz bin Abdus Salam adalah seorang tokoh ulama terkemuka dari Damaskus dan lebih dikenal dengan nama al-'Izz bin Abdus Salam. Lahir dalam kondisi ekonomi yang begitu memprihatinkan. Tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana dan hanya dapat digunakan sebagai tempat istirahat, setelah penat bekerja hampir sehari penuh. Lingkungan sosialnya pun tak berbeda. Dari waktu ke waktu mereka hanya disibuki hidup yang selalu terlilit oleh kesulitan. Sebab itu, kehidupan kanak-kanaknya menjadi sangat kering dari suasana ilmiah. Ditambah lagi kondisi latar belakang kedua orang tuanya yang tak berpendidikan. Seluruh anggota keluarganya sibuk banting tulang mencari nafkah.
Saat kecilnya, al-'Izz bin Abdus Salam sama sekali tak tertarik pada ilmu. Awal kehidupan Syaikh ‘Izzuddin sangat faqir. Ia sama sekali tak disibukkan masalah ilmu, kecuali setelah beliau tua, demikian ungkap as-Subki dalam kitab "as-Suluk fii Duwali al-Muluk." Namun, dimasa tuanya, keadaan al-‘Izz amat berbeda. Beliau bahkan menjadi seorang ulama besar di zamannya. Kepiawaian serta keluasan ilmu yang dimiliki al-’Izz dalam berbagai disiplin ilmu Islam, menjadikan dirinya dijuluki sebagai "sulthanul 'ulama ” (rajanya ulama). Al-’Izz hidup pada tahun 577 H-660 H (1181 M-1262 M). Dalam sejarah, masa-masa itu dikenal dengan masa penuh krisis. Saat itu, Mesir dan Syam berada di bawah kekuasaan Dinasti Ayubiyah. Berlanjut dengan kekuasaan daulah Mamalik di Mesir hingga zaman kekuasaan Zahir Bybers. Pada masa itulah meletus perang Salib atau Crusade.
Wilayah-wilayah Islam digempur habis-habisan dan dijajah oleh tentara Salib. Penderitaan kaum muslimin yang belum reda akibat perang Salib, ditambah lagi dengan serangan pasukan Tartar Mongol yang bengis dan membabi buta. Dunia Islam bersimbah darah. Kondisi kritis yang berlangsung cukup lama ini akhirnya memberi dampak terhadap mental dan sikap ummat Islam secara umum. Ummat Islam saat itu hampir didominasi oleh keputusasaan. Sulit bagi mereka menggambarkan hari depan yang cerah. Dalam kondisi kekecewaan dan kritis seperti, itu, berkembanglah keyakinan baru dalam lapangan ibadah dan keyakinan. Tasawwuf, gaya hidup memutuskan hubungan dari permasalahan duniawi dan sibuk dengan masalah ukhrawi, tumbuh dan bertebaran di seluruh pelosok Damaskus dan sejumlah wilayah Islam sekitamya. Timbul pula berbagai aliran dan kelompok sufi yang kemudian banyak dianut oleh masyarakat muslim.
Al-’Izz bin Abdus Salam menghirup seluruh kondisi dunia tersebut, berikut semua dimensinya. Dari krisis ekonomi keluarga, kekeruhan politik, ilmiah, sosial, militer yang menyergap semua wilayah Islam. Selanjutnya, beliau tenggelam dalam kancah semangat kebangkitan yang bersinar kuat dalam zaman itu. Beliau banyak terpengaruh oleh tokoh-tokoh ulama yang banyak lahir di negerinya. Di samping itu, beliau juga sangat terkesan terhadap kondisi masyarakatnya. Mereka berada di antara dua problema besar himpitan musuh serta melemahnya semangat juang dalam dada kaum muslimin. Sebab itulah, sejarah mencatat peran-peran Syaikh al-’Izz yang menunjukkan beliau sebagai ulama yang hidup dalam dua dunia, dunia ilmu pengetahuan dan dunia realitas kehidupan masyarakat. Pengaruh-pengaruh yang melingkupi hidupnya itu menyatu pada keunikan pribadi al-'Izz yang istimewa. Hingga beliau menjadi seorang imam, mufti, faqih, di samping menjadi tokoh pemimpin yang lekat di hati masyarakat dan umatnya. Al-'Izz aktif memerangi semua kerusakan yang terjadi di masyarakatnya, memberantas semua bentuk penyimpangan agama yang tak sesuai dengan syari'at. Beliau menyampaikan kebenaran kepada siapa saja dan kapan saja, tanpa membedakan apa dan siapa orang yang diserunya.
Al-’Izz bin Abdus Salam memang baru mulai memfokuskan perhatiannya pada ilmu setelah berusia cukup lanjut. Namun faktor tersebut sama sekali tak menghalanginya untuk bersungguh-sungguh. Beliau menumpahkan semua kesanggupan untuk meraup ilmu. Berulang kali al-’Izz mendatangi para syuyuleb dan mendalami kitab-kitab karya mereka. Allah SWT memberinya kelebihan berupa akal cerdas dan kepandaian. Karunia tersebut beliau gunakan sepenuhnya untuk menebus apa yang telah beliau lewatkan secara sia-sia di masa mudanya. Tingginya semangat beliau dalam menuntut ilmu tercermin dalam perkataannya, “Aku sangat haus ilmu. Tak satu kitab pun yang aku tinggalkan melainkan aku telah habiskan seluruhnya di hadapan syaikh penulisnya. Saya tak puas bila seorang syaikh memotong bacaan saya dan berkata, “Engkau tidak membutuhkan, saya lagi, pergilah ....” Saya tetap bersikeras menghabiskan isi kitab tersebut di hadapannya,” begitu kurang lebih ungkapan al-’Izz. Beliau juga senang sekali mengulang-ulang bacaan serta telaahnya terhadap satu kitab tertentu yang ia sukai. “Selama tiga puluh tahun saya jarang sekali tidur, untuk meneliti kitab-kitab hingga seluruh bab hukum-hukum di dalamnya benar-benar lekat dalam pikiran saya,” demikian ungkapnya. (Raf'ul Ashr ‘an Qudhatil Mishr, Ibnu Hajar al-Asqalani hal. 15)
Kota Damaskus, saat itu merupakan lokasi yang cukup concern dengan perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Banyak ulama dari Timur dan Barat yang berdatangan ke Damaskus. Kondisi ini semakin mewarnai semangat ilmiah di kota kelahiran al‘Izz bin Abdus Salam. Beliau sepuas-puasnya mendatangi satu persatu para ulama tersebut sesuai bidang yang mereka kuasai. Salah satu ulama yang paling memberi pengaruh pada pribadi al-’Izz adalah Qadhi Abdus Shamad bin Hurastani. Seorang hakim yang terkenal adil, zuhud dan wara'. Kekaguman al-’Izz kepada gurunya terlontar lewat perkataan beliau, ‘‘Tak pernah saya melihat orang yang lebih faqih darinya...." Al-’Izz bin Abdus Salam belajar ilmu Ushul Fiqih dari seorang ulama bernama Syaikh Saifuddin al-Amidi. Belajar hadits dan fiqih Syafi'i kepada Imam Fakhruddin bin Asakir, seorang alim yang terkenal wara' dan zuhud. Selain ketiga ulama tersebut, al-'Izz juga mendatangi seorang ahli hadits al-Hatidz Muhammad al-Qasim' bin 'Asakir, Syaikh Abdul Lathif bin Abi Sa'd al-Baghdadi dan lain-lain.
Semangatnya untuk mengeruk pengetahuan membuat al-’Izz tetap tak puas belajar dengan ulama negerinya. Beliau lalu mengembara ke ibukota Khilafah Islamiyah yang sekaligus menjadi kiblat pengetahuan saat itu. Tahun 597 H, al-'Izz bin Abdus Salam pertama kali menginjakkan kakinya di kota tersebut. Di sana beliau kembali tenggelam mempelajari berbagai disiplin ilmu dari para ulama terkenal. Dari perjalanannya menuntut ilmu itu, beliau kemudian kembali lagi ke tanah kelahirannya menyebarkan da'wah Islam di Damaskus. Sambil berda’wah al-’Izz tetap tak putus-putus mendalami ilmu. Hingga akhirnya beliau diangkat sebagai imam besar di kota tersebut. Beliau sangat disegani oleh raja-raja. Para raja bahkan gentar untuk mengeluarkan kebijakan yang berlawanan dengan pendapat al-’Izz. Kelak, beliau diangkat menjadi seorang mufti resmi di Mesir dan selalu aktif memberi pelajaran di masjid-masjid, berceramah membangkitkan semangat kaum muslimin akan bahaya Salibisme dan Mongol Beliau juga meninggalkan banyak karya tulis di berbagai cabang ilmu agama, baik dalam tafsir al-Qur'an, hadits Nabawi, 'aqidah, fiqih dan ushul fiqh, tashawwuf, sirah Nabawiyah dan sebagainya.
Aktivitas da'wah Syaikh al-lzz awalnya mendapat dukungan penuh dari penguasa dan masyarakat Damaskus. Syaikh al-’Izz memang dikenal sebagai tokoh yang sangat teguh pendirian dan komit dengan kebenaran, sehingga semua fatwa yang beliau keluarkan memuaskan dan diterima oleh ummat Islam pada waktu itu. Kondisi ini terus berlangsung hingga tahun 639 H, tatkala keimanan beliau diuji oleh Allah SWT. Beliau terpaksa pergi dari kota kelahirannya, karena diusir oleh penguasa Damaskus yang bernama Shalih Isma’il. Latar belakang pengusiran tersebut adalah lantaran raja Mesir berkhianat menjalin kerjasama dengan pihak Perancis. Dengan imbalan harta, ia rela menyerahkan kemuliaan Islam kota Shaida dan benteng Syaqif kepada Perancis. Kecemburuan Islam yang memang telah tertanam kuat dalam jiwa Syaikh al-’Izz berontak.
Sikap khianat Isma'il Shalih itu ditentang habis-habisan oleh al-’Izz. Beliau berupaya membangkitkan masyarakat agar menurunkan Shalih Isma'il dari kerajaan. Bahkan menolak berdo’a untuk raja dalam ceramah-ceramahnya. Hingga akhirnya, tahun 639 H beliau diusir dari Damaskus. Bumi Allah terbentang luas. Di tahun yang sama, Syaikh al-’Izz pergi menuju Mesir. Ternyata beliau mendapat sambutan hangat dari Najmuddin Ayyub, yang saat itu berkuasa Mesir. Beliau diberi kedudukan terhormat dan ditempatkan di posisi yang sesuai dengan kemampuan ilmiahnya. Selain menjadi penceramah di perguruan Amr bin sil-'Ash, Syaikh al-’Izz dipercayai menangani ta’mir masjid-masjid besar di Mesir dan Kairo. Selanjutnya beliau ditunjuk mengepalai para qadhi Mesir, menggantikan Qadhi Syarafuddin bin Mu'in yang telah wafat.
Al-’Izz, tokoh alim yang terkenal akan sikap wara' dan takutnya kepada Allah SWT. Kewara’an dan ketakutannya kepada Sang Khaliq menjadikan dirinya tak lagi memiliki kekhawatiran dalam menyampaikan yang haq. Beliau tak pernah menimbang rasa khawatir apalagi takut dalam menyampaikan misi da'wah ilallah, menjelaskan yang haq adalah haq serta yang bathil tetap bathil. Namun, keberanian tersebut ternyata memicu kedengkian para pembantu khalifah Najmuddin Ayyub. Dan di sinilah, Syaikh ‘Izzuddin harus menghadapi fitnah yang kedua kali. Para pembantu khalifah sepakat membujuk khalifah Najmuddin untuk melarang al-’Izz berceramah di hadapan massa. Alasannya, hal tersebut adalah upaya menangkal ucapan beliau yang bisa jadi menjatuhkan nama khalifah di hadapan masyarakat, seperti yang pernah dilakukannya di Damaskus. Meski demikian, al-’Izz tetap tak berhenti mengabdikan ilmunya kepada masyarakat. Beliau tetap berusaha menyalurkan dan mengalokasikan semua pengetahuannya untuk memajukan harkat ummat Islam. Madrasah Shalihiyyah Mesir, tempatnya mengajar merupakan sebuah madrasah besar yang di dalamnya terdapat kelas-kelas tersendiri untuk setiap madzhab. Di sanalah Syaikh al-’Izz melanjutkan misinya mendidik generasi ummat hingga Allah SWT memanggilnya di tahun 660 H.