Sa'ad bin 'Ubadah bin Dulaim (bahasa Arab: سعد بن عبادة بن دليم) adalah seorang Sahabat Nabi dan tokoh pemimpin Bani Khazraj dari Madinah. Ia adalah salah satu dari kaum Anshar yang melakukan bai'at 'Aqabah kepada Nabi Muhammad, serta seterusnya selalu mendukung perjuangannya. Sa'ad bin 'Ubadah adalah salah seorang pemimpin dari Bani Sa'idah, salah satu suku dari kabilah Bani Khazraj. Nasab lengkapnya adalah Sa'ad bin 'Ubadah bin Dulaim bin Haritsah bin Abu Hazimah bin Tsa'labah bin Tharif bin Al-Khazraj bin Sa'idah (moyang Bani Sa'idah) bin Ka'ab bin Al-Khazraj (moyang kabilah Bani Khazraj). Ayahnya yaitu 'Ubadah bin Dulaim, dan kakeknya Dulaim bin Haritsah, terkenal karena kedermawanannya; demikian pula Sa'ad sendiri serta anaknya Qais bin Sa'ad. Pada masa jahiliyah, Sa'ad menjalin perjanjian dagang dengan Jubair bin Muth'im dari Bani Naufal, dan Harits bin Harb bin Umayyah dari Bani Abdu Syams.
Sa'ad termasuk dalam kelompok 75 orang Yastrib yang berbaiat kepada Nabi Muhammad pada Baiat Aqabah II tahun 622 M. Ia sempat ditawan kaum Quraisy, namun rekan dagangnya Jubair bin Muth'im dan Harits bin Harb kemudian membebaskannya. Ketika Sa’ad masuk Islam, ia membawa anaknya Qais dan menyerahkannya kepada Rasulullah sambil berkata, “Inilah pelayanmu, wahai Rasulullah.” Rasulullah dapat melihat segala tanda-tanda keutamaan dan ciri-ciri kebaikan pada diri Qais. Karena itulah, beliau merangkul dan mendekatkannya ke beliau, yang selanjutnya Qais menjadi seorang yang selalu dekat di sisi beliau. Anas, shahabat Rasulullah pernah mengatakan, “Kedudukan Qais bin Sa’ad di sisi Nabi itu seperti kedudukan pengawal di sisi pemimpin.”
Suatu saat Umar dan Abu Bakar memperbincangkan kedermawanan Qais putra Sa'ad, mereka berdua mengatakan, “Kalau kita biarkan pemuda ini dengan kemurahan hatinya, niscaya harta ayahnya akan habis tidak tersisa.” Sa’ad bin Ubadah pun mendengar perbincangan mereka berdua tentang anaknya. Dia berkata dengan tegas, “Siapakah yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar? Mereka mengajarkan kekikiran kepada anakku dengan memperalat namaku.” Suatu hari Qais memberikan pinjaman dalam jumlah besar kepada salah seorang rekannya yang sedang dalam kondisi sulit. Pada hari yang telah ditentukan untuk melunasi utang, orang yang bersangkutan berangkat untuk membayarnya kepada Qais. Ternyata Qais tidak bersedia menerimanya, dan hanya berkata, “Kami tidak akan menerima kembali apa pun yang telah kami berikan.”
Bila anda menemukan kedermawanan tanpa keberanian, ketahuilah bahwa yang anda temui itu bukanlah kedermawanan sejati, melainkan salah satu wujud dari gejala-gejala kesombongan dan keangkuhan. Pun demikian, bila keberanian tidak disertai kedermawanan, ketahuilah bahwa itu bukanlah keberanian sejati, melainkan percikan dari keberanian yang membabi buta dan kecerobohan. Ketika Qais bin Sa’ad memegang teguh kemurahan hati dengan tangan kanannya, ia pun memegang kuat keberanian dan keperwiraan dengan tangan yang sama. Ia seolah-olah maksud dengan ungkapan syair: Apabila bendera kemuliaan telah dikibarkan.. Segala kekejian berubah menjadi kebaikan..
Sebagaimana tradisi orang-orang kaya dan dermawan di antara suku-suku Arab, keluarga Qais memiliki pelayan yang bertugas di tempat ketinggian memanggil siapa saja yang hendak bertamu untuk makan bersama mereka pada siang hari, dan pada malam hari menyalakan api untuk menjadi petunjuk bagi para musafir yang lewat. Orang-orang pada zaman itu mengatakan, “Siapa yang ingin memakan lemak dan daging, silakan mampir ke benteng perkampungan Dulaim bin Haritsah.” Dulaim bin Haritsah adalah kakek kedua Qais. Di rumah bangsawan inilah Qais mendapat didikan kedermawanan dan kemurahan hati. Secara fitrah, manusia mempunyai jalan yang tidak pernah berubah, dan kebiasaan yang jarang berganti-ganti. Ketika kemurahan hati terdapat pada jiwa seseorang, keberanian pun ada padanya. Karena itu, tidak salah bila kedermawanan sejati dan keberanian sejati adalah dua saudara kembar yang tidak dapat berpisah satu sama lainnya untuk selama-lamanya.
Setibanya Nabi Muhammad di Madinah, Sa'ad selalu mendukung perjuangannya dan menjadi orang kepercayaan Nabi Muhammad, bahkan pernah beberapa kali diangkat sebagai pemimpin kaum Muslim saat Nabi sedang ke luar kota. Demikian pula dalam peperangan, Sa'ad juga kerap dipercaya sebagai salah seorang pemegang panji-panji kaum Muslim mewakili kaum Anshar, termasuk saat peristiwa Pembebasan Makkah. Dalam pertemuan di Tsaqifah Bani Sa'idah setelah Nabi Muhammad wafat, Sa'ad sempat diajukan sebagai salah kandidat khalifah mewakili kaum Anshar, meskipun pada akhirnya Abu Bakar lah yang kemudian terpilih. Disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Asma al-Shahâbah wa Mâ Likulli Wâhidim Minhum min al-‘Adad, bahwa Sa'ad bin 'Ubadah telah meriwayatkan 21 hadits. Sa'ad bin 'Ubadah diperkirakan wafat pada 15 H/636 M, di Syam.