Salah satu keluarga Rasulullah SAW yang tersohor dengan pekerti dan keilmuannya ialah az-Zubair bin Abdul Muthalib, paman kandung Nabi. Keistimewaan tersebut diwarisi pula oleh sejumlah anaknya, tak terkecuali Dhuba'ah. Lahir dari keluarga terkemuka saat itu, Dhuba'ah binti az-Zubair bin Abdul Muthallib bin Hasyim, tumbuh menjadi sosok dengan tingkat kedewasaan yang tinggi. Istri al-Miqdad bin al-Aswad ini dikenal pula dengan daya dan kemampuan menghafal yang luar biasa. Ini menempatkannya ke dalam deretan para sahabat perempuan (shahabiyah), perawi hadis. Ia menjadi salah satu kiblat periwayatan hadis. Tak sedikit generasi salaf dari sahabat dan tabiin yang mengambil hadis darinya. Sebut saja dari kalangan sahabat, ada Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, Aisyah RA.
Sementara itu, pengambil riwayat yang berasal dari golongan tabiin, antara lain, Sa'id bin al-Musayyib, termasuk Karimah binti al-Miqdad, putri kandungnya. Ibunda Abdullah dan Karimah tersebut merupakan pribadi yang haus ilmu. Ia tak segan bertanya langsung kepada Rasulullah perihal persoalan yang ia hadapi. Ini membuat riwayatnya semakin istimewa. Namanya melambung melalui hadis tentang diperbolehkannya menetapkan syarat dalam niat haji atau umrah. Dhuba'ah meminta petuah dan syarat itu langsung di hadapan Rasulullah. Peristiwa ini membuat ia terkenal dengan julukan al-musytarithah, sang peminta syarat. Aisyah menuturkan saat itu, Nabi bertandang ke rumah Dhuba'ah binti Zubair bin Abdul Muthalib. Lalu, Dhuba'ah pun berkata, "Ya Rasulullah, aku bermaksud hendak menunaikan ibadah haji, tetapi aku sakit, bagaimana itu?" Maka Nabi menjawab, "Hajilah dan syaratkan dalam niatmu, ‘bahwa tempat tahalulku di tempat saya tertahan (karena sakit)’.” Riwayat lain menambahkan, Rasulullah mengajari Dhuba'ah tata cara berniat dengan keberadaan syarat di dalamnya seperti berikut. “Ya Allah aku menjawab panggilan-Mu dengan melakukan ihram untuk umrah, jika aku terhalang sesuatu di tengah jalan, tahalulku di tempatku tertahan tersebut."
Dhuba'ah, bersama saudarinya, Ummu Hakim, adalah pemberi keturunan bagi az-Zubair. Selain dari keduanya, az-Zubair tak memiliki cucu. Walaupun demikian, putra kesayangan Dhuba'ah, Abdullah, lebih dahulu menghadap Sang Khaliq, saat Perang Jamal. Az-Zubair sangat mencintai Dhuba'ah. Perasaan yang sama juga dicurahkan az-Zubair, kepada keponakannya, Muhammad. Sewaktu Nabi masih kecil dan berada di Makkah, paman tertuanya itu menyayangi Muhammad kecil dan mengasihinya. Sang paman yang berjuluk Abu Thahir tersebut kerap mengajak Muhammad bermain. Dhuba'ah melakukan hal yang sama kepada Muhammad, sekalipun telah diutus sebagai nabi dan rasul. Dhuba'ah sering memasak menu makanan dan diberikan kepada Rasulullah. Ini adalah contoh kemuliaan Bani Hasyim. Kehidupan sehari-hari keluarga besar itu penuh dengan kasih sayang dan saling mencintai satu sama lain.
Dhuba'ah mengisahkan, ayahnya tak bosan-bosan mendendangkan lagu dan membacakan cerita pendek. Kesemuanya berisi petuah bijak dan kebajikan. Aku senang sekali wahai Dhuba'ah yang baik dan taat (bila) engkau tidak mencuri barang, seperti engkau tidak tahu moral. Doktrin dan ajaran ini membekas dalam diri Dhuba'ah. Ini mengantarkannya tumbuh dan berkembang sebagai pribadi mulia. Atas dasar inilah, ia mendapat penghormatan Rasulullah. Terlebih, ia termasuk sahabat yang pertama kali menerima dakwah Islam. Ia juga ikut berhijrah ke Madinah pada gelombang pertama. Bentuk pemuliaan Rasulullah terhadap bibinya tersebut, diwujudkan pula dengan menikahkan Dhuba'ah dan al-Miqdad. Keduanya adalah sahabat pilihan dan memiliki kedudukan di hati Rasulullah. Al-Miqdad merupakan satu dari ketujuh sahabat yang mengikrarkan syahadat pada awal Islam. Dhuba'ah, 'sang peminta syarat' itu, meluapkan kecintaannya pada Rasulullah dan melaksanakan titahnya hingga ajal menjemput pada tahun ke-40 setelah hijrah.