Abu Kholid Yazid bin Harun bin Zadzi. Menurut suatu pendapat, nama Zadzi ini adalah Zadzan bin Tsabit As-Salami Al-Wasithi. Kakek Yazid Al-Wasiti yang bernama Zadzan ini adalah budak Ummu Ashim, istri Uthbah bin Farqad, yang kemudian dimerdekakan. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa dia dia aslinya berasal dari daerah Bukhoro. Ibnu Abi Hatim berkata, “Ketika aku bertanya kepada ayahku tentang Yazid bin Harun, maka dia menjawab, “Dia adalah seorang imam yang tsiqoh dan hadits yang diriwayatkan dapat dipercaya. Oleh sebab itu, kapasitasnya tidak perlu ditanyakan lagi.”
Guru dari Imam Ahmad bin Hambal ini mempunyai kharisma yang luar biasa. Kharisma itu muncul karena kesaksian dari para guru dan murid-murid beliau yang mengenal beliau sebagai ulama yang tsiqah. Hampir tak seorang pun dari guru dan murid beliau yang mendapati kekurangan beliau. Hadits yang beliau riwayatkan adalah hadits yang shahih. Kuatnya hafalan Abu Khalid Yazid bin Harun sudah dikenal di seluruh penjuru negeri muslim saat itu. Bahkan, dari sisi itu, beliau mengalahkan salah seorang guru Imam Syafi’i, Waqi’ bin Al-Jarrah. Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa kuatnya periwayatan hadits dari Yazid bin Harun sampai pada peringkat mutqin yang melebihi dari sekadar hafizh.
Kelahirannya di tahun 118 Hijriyah menurut Adz-Dzahabi. Beliau memiliki karakteristik wajahnya tampan, berbadan tinggi dan berkulit putih. Dari Hasan bin Urfah bin Yazid Al-Abdadi, dia berkata, “Aku pernah melihat Yazid di daerah Wasith, dia adalah orang yang paling bagus kedua matanya. Lalu aku melihat matanya tinggal satu dan aku melihatnya lagi kedua matanya menjadi buta. Ketika aku bertanya kepadanya, “Wahai Abu Khalid, apa yang telah terjadi sehingga kedua matamu menjadi buta begini?” Dia menjawab, “Keduanya hilang (buta) karena seringnya menangis.”
Menurut Adz-Dzahabi, dia adalah pemimpin dalam ilmu, amal dan tsiqoh serta menjadi tempat umatnya bertanya. Ibnu Ziyad berkata, “Aku telah mendengar Abu Abdillah ketika ditanyakan kepadanya tentang apakah Yazid bin Harun pandai dalam bidang fikih ?” Maka dia menjawab, “Benar, tidak ada orang yang lebih cerdas dan lebih pandai daripadanya. “Ketika ditanya lagi, “Lalu bagaimana dengan Ibnu Ulyah?” Maka dia menjawab, “Dia juga pandai, hanya saja, orang telah sepakat bahwa Yazid bin Harun adalah shahib sholat, hafiz, hadits riwayatnya mutqin, seorang yang berpikiran tajam serta bagus dalam bermadzhab.”
Kelemahan Yazid bin Harun adalah tidak dapat melihat. Dimungkinkan dia menyuruh budak perempuannya untuk membantu menghafalkan hadits yang diketahuinya, maka dia menyuruh budak perempuannya untuk membantu menghafalkan hadits yang telah ditulis dalam kitabnya. Tidak sedikit para imama yang memberikan predikat kepada Yazid bin Harun sebagai ulama yang telah menghafal hadits-hadits yang diriwayatkannya secara dhabit,. Barangkali ketika dia sedang ragu pada hadits yang telah dihafalnya, mengingat kedua matanya buta dan usianya sudah tua, maka dia memninta bantuan budak perempuannya untuk mempelajari kitabnya agar bisa membacakan di hadapannya.
Ahmad bin Sinan berkata “Ketika dia berdiri dalam sholat, maka seoalah-olah ia adalah tiang yang berdiri kokoh diantara waktu Zhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya, dan tidak perhenti dari mengerjakan shalat di malam dan di siang hari.” Adapun Yazid bin Harun mengerjakan sholat Isya, dia akan tetap berdiri hingga waktu sholat subuh dengan wudhu itu juga. Hal semacam ini berlangsung selama 47 tahun. Adapun Qa’is bin Ar-Rabi’ setelah menunaikan sholatnya dengan berdiri, maka ia tidur dan bangun kembali untuk menunaikan empat rakaat, aku lalu duduk untuk bertasbih.
Dari Yahya bin Aktsam, dia berkata, Amirul mukminin Al-Makmun berkata kepada kami, “Kalau seandainya tidak ada Yazid bin Harun, maka aku akan menjelaskan bahwa kalau Al-Qur’an ini adalah makhluk.” Ketika ditanyakan, “Siapakah Yazid itu sehingga paduka begitu resah dan memperhitungkannya?” Al-Makmun menjawab, “Bagaimana kalian ini! Sesungguhnya aku telah meridhainya, hanya saja dia tidak mempunyai kekuasaan. Kalau aku mengumumkan bahwa Al-Qur’an itu makhluk dan dia membantahku, maka demikian itu, maka itu merupakan bencana.”
Adz-Dzahabi mnambahkan bahwa Yazid bin Harun benar-benar menjadi pemimpin dalam mempertahankan sunnah sekaligus penentang bagi kelompok Jahmiyah. Dia merupakan orang yang getol menentang takwil kaum Jahmiyah dalam masalah al-istiwa’ (Allah bersamayam). Yazid bin Harun meninggal pada masa pemerintahan Al-Makmun dalam usia 88 tahun lebih beberapa bulan atau berusia 89 tahun. Lebih tepatnya dia meninggal pada tahun 206 hijriyah, dan Ya’qub bin Syai’ban berkata, “Yazid bin Harun meninggal di pertengahan bulan Rabiul Akhir tanum 206 Hijriyah”