Al-Fudail bin Iyadh beliau seorang tokoh terkemuka dari generasi tabi’ut tabi’in. Al-Fudail bin Iyadh adalah sosok ahli ibadah yang banyak menghabiskan waktunya di Mekah dan Madinah. Kehidupannya penuh dengan cahaya ilmu, amal serta istiqomah dalam membela kebenaran. Dan salah satu kelebihannya yang dianugerahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya adalah di munculkan banyak hikmah melalui lisannya. Dari Abdullah Ash-Shomad Mardawaih Ash-Sha’igh, dia berkata: “Ibnul Mubarok berkata kepadaku bahwa sesungguhnya Al-Fudhail merupakan bukti kebenaran kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan dimunculkan hikmah melalui lisannya. Dia termasuk manusia yang dikaruniai manfaat dari amal-amalnya.” (Siyar A’lam An Nubala 8/ 425).
Diantara mutiara hikmah yang diungkapkannya adalah: “Kosongkan hatimu untuk sedih dan takut, sampai keduanya dapat bersarang. Apabila sedih dan takut bersarang dihatimu, maka keduanya akan membentengimu dari melakukan maksiat dan menjauhkan dirimu dari api neraka.” (Siyar A’lam An-Nubala 8/ 438 ). Rasa takut dan sedih akan siksanya membuat hatinya begitu memiliki harapan besar untuk selalu dekat dengan Allah Ta’ala. Begitu pula saat disebut-sebut nama Allah atau mendengar ayat-ayat-Nya, rasa takut dan sedih itu selalu memenuhi hati dan pikirannya.
Dari Sufyan bin ‘Uyainah, dia berkata, “Aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih takut kepada Allah daripada Al-Fudhail dan ayahnya.” Dari Muhammad bin Thufail, dia berkata, “Aku mendengar Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Sedih (karena Allah) di dunia menghilangkan keresahan di akhirat dan (terlalu) gembira di dunia menghilangkan manisnya beribadah.” Perkataan beliau merupakan wujud nyata betapa beliau sosok yang bening hatinya, dalam ilmunya serta mampu merealisasikan mutiara-mutiara hikmah yang sarat dengan keagungan iman, dan penghambaan yang tulus kepada Rabb-nya yang begitu dicintainya.
Ada sebuah nasehat indah yang layak ditulis dengan tinta emas, dan menjadi renungan kita bersama. Al-Fudhail bin Iyadh berkata (kepada dirinya) “Wahai, kasihannya engkau…..engkau berbuat buruk, tetapi engkau merasa berbuat baik, engkau tidak tahu, tetapi merasa selevel dengan ‘ulama’, engkau kikir, tetapi engkau merasa dermawan, engkau pandir, tetapi merasa berakal (cerdas), ajalmu pendek, namun angan-anganmu panjang.” ( Siyar A’lamin Nubala 8/ 440 ). Subhanallah, dalam sekaligus penuh pesan moral yang luar biasa dari ungkapan-ungkapan beliau, Allah memberinya kecerdasan batin hingga dengan karunia Allah ‘Azza wa Jalla kaum muslimin mampu mendapatkan faedah tak ternilai untuk menjadi seorang mukmin yang ikhlas, qona’ah dan menjalani roda kehidupan selaras dengan syari’at-Nya.
Hidupnya laksana cermin tak jauh beda dengan apa yang beliau katakan. Dan itulah teladan yang konkret dan dijadikan aspirasi positif dalam membangun jatidiri membentuk karakter Islami sebagai seorang mukmin sejati. Adz-Dzahabi berkata, “Ditanyakan kepada Al-Fudhail bin Iyadh: “Apakah zuhud itu?”. Dia menjawab, “Banyak qona’ah,” lalu ditanyakan, “Apakah wara’ itu?” Al-Fudhail menjawab, “Menjauh dari sesuatu yang dilarang Syari’at,” Dan ketika ditanyakan, “Apakah ibadah itu?” maka Al-Fudhail menjawab, “Melaksanakan sesuatu yang diwajibkan,” Lalu ditanyakan pula, “Apa itu tawadhu‘?” Al-Fudhail menjawab, “Anda tunduk kepada Yang Haq. Dan ketahuilah sesungguhnya Wara’ terberat itu terletak pada lisan.”
Salah satu sifat menonjol beliau adalah sangat peduli dan perhatian terhadap murid-muridnya. Sesuatu ketika ia mendatangi salah satu muridnya yang tengah sakaratul maut. Beliau membimbingnya untuk bersyahadat tetapi lisannya tak mampu mengucapkan bacaaan syahadat. Beliau mengulang-ulangi bacaan syahadat, namun muridnya mengatakan, “Saya tidak dapat mengucapkannya,” hingga Al-Fudhail berlepas diri darinya. Beliaupun menangis setelah kematian sang murid, beliau bermimpi dalam tidurnya ternyata murid tersebut setiap tahun meminum segelas arak agar sembuh dari penyakitnya. Demikianlah sekilas pandangan perkataan dan hikmah dari episode kehidupan Al-Fuhail bin Iyadh, Semoga kita bisa mengambil ibrah berharga yang mampu menambah nutrisi keimanan dan mewariskan energi positif untuk meneladaninya.
Sebelumnya, Al-Fuḍayl ibn ‘Iyāḍ adalah seorang pencuri yang meninggalkan kejahatannya. Kisah taubat Fudhail bin Iyadh merupakan sebuah kisah yang luar biasa. Bagaimana seorang perampok yang ditakuti, bisa menjadi takut dan kembali ingat kepada Allah setelah mendengar percakapan kafilah dagang yang takut kepadanya dan mendengarkan ayat Alquran. Seorang tetangga Fudhail bin Iyadh berkata, “Fudhail bin Iyadh adalah perampok (hebat) sehingga tidak memerlukan partner atau tim dalam merampok. Suatu malam dia pergi untuk merampok. Tak berapa lama ia pun bertemu dengan rombongan kafilah. Sebagian anggota kafilah itu berkata kepada yang lain, “Jangan masuk ke desa itu, karena di depan kita terdapat seorang perampok yang bernama Fudhail.”
Fudhail yang mendengar percakapan anggota kafilah itu ternyata gemetar, dia tidak mengira bahwa orang-orang sampai setakut itu terhadap gangguan darinya, ia merasa betapa dirinya ini memberi mudharat dan bahaya bagi orang lain. Fudhail pun berkata, “Wahai kafilah, akulah Fudhail, lewatlah kalian. Demi Allah, aku berjanji (berusaha) tidak lagi bermaksiat kepada Allah selama-lamanya.” Sejak saat itu Fudhail meninggalkan dunia hitam yang telah ia geluti itu. Setelah pertobatannya, Fuḍayl pindah ke Kufah, di Irak modern, dan belajar di bawah Ja'far al-Shadiq dan Abdul Waahid Bin Zaid.
Ketika Fuḍayl bertekad untuk melakukan ziarah Haji ke Mekah, dia mendekati istrinya dan mengatakan kepadanya bahwa dia harus pergi pada perjalanan panjang dan berbahaya, tetapi bahwa dia bersedia untuk memberinya perceraian jika dia menginginkan untuk menikah lagi dalam ketidakhadirannya. Dia menolak, dan mengatakan dia lebih suka menemaninya di perjalanan. Dia tetap di Mekah untuk waktu yang lama, dan belajar di bawah Abu Hanifah. Dia memiliki setidaknya satu putra, bernama Ali, dan dua anak perempuan. Putra Fuḍayl menderita infeksi saluran kemih, yang sembuh ketika Fu'ayl bergantung pada doa dan iman saja.
Pelajaran: Seorang yang terbiasa melakukan perbuatan dosa, maka hatinya akan menghitam sehingga sulit menerima hidayah. Namun terkadang, ada sedikit celah di hatinya yang belum tertutup dengan gelapnya maksiat. Apabila ia gunakan bagian kecil ini untuk merenungkan dan mengingat kekuasaan Allah, maka Allah akan bersihkan hatinya dari noda-noda hitam dosa kemaksiatan. Sebaliknya, apabila ia tetap menuruti hawa nafsunya, maka hati tersebut semakin menghitam dan lama-kelamaan akan mati dan tidak menerima hidayah. Sumber: at-Tawwabin oleh Imam Ibnu Qudamah