Pada masa kekuasaannya, 'Abdul Malik berhasil menyatukan seluruh kekhalifahan dalam kendali tunggal Umayyah yang berpusat di Syria, mengalahkan 'Abdullah bin Zubair yang menjadi khalifah pesaing di Makkah, dan mengakhiri perang saudara. 'Abdul Malik juga merupakan khalifah yang pertama kali mencetak dinar dan menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi di pemerintahan. Dia juga menjadikan keluarganya sebagai pusat kekuasaan dengan memberikan mereka berbagai kedudukan penting, seperti gubernur dan panglima. Secara pribadi, 'Abdul Malik dikenal sebagai sosok ahli ibadah dan zuhud. Sepeninggalnya, takhta diwariskan kepada salah seorang putranya, Al-Walid.
Di Al-Quds, 'Abdul Malik membangun Kubah Shakhrah yang mulai dibangun beberapa saat setelah menjadi khalifah dan diselesaikan pada tahun 691. Meski putra-putranya juga memerintahkan berbagai pekerjaan pembangunan, sebagian besar pembangunan 'Abdul Malik dikhususkan di wilayah Al-Quds, seperti memperluas tapal batas Masjid Al-Aqsha sampai memasukkan Ash-Shakhrah yang mana Kubah Shakhrah dibangun menaunginya, membangun dua gerbang di Masjid Al-Aqsha, dan memperbaiki jalan-jalan kota.
Abdul Malik juga melakukan proses Arabisasi di kekhalifahan. Pada sekitar tahun 700, 'Abdul Malik mengeluarkan maklumat untuk menggantikan bahasa Mesir dan Koptik dengan bahasa Arab di pemerintahan di Syria dan Mesir. Al-Hajjaj sendiri sudah memulainya di Iraq tiga tahun sebelumnya. Hal ini menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi tunggal di negara. Dalam penerapannya, bahasa Arab baru menjadi bahasa pemerintahan di provinsi timur jauh pada sekitar tahun 740, pada masa-masa terakhir kekuasaan Umayyah di Syria. Pada masa pemerintahannya, gerakan penerjemahan buku-buku berbahasa Persia dan Romawi ke bahasa Arab mengalami perkembangan yang pesat.
Di masanya, Al-Hajjaj bin Yusuf menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah kekhalifahan dan lebih sering dibicarakan dalam sumber-sumber Abad Pertengahan daripada khalifah sendiri. Dia merupakan salah satu pendukung Umayyah paling setia. Keluarganya dan keluarga khalifah saling terikat pernikahan satu sama lain. Meski termasuk sosok yang cakap dalam urusan militer dan pemerintahan, dia kerap dipandang buruk oleh sejarawan Muslim lantaran kekejamannya, juga pembunuhan atas beberapa sahabat Nabi. Meski begitu, 'Abdul Malik masih mampu mengekangnya dan para gubernurnya yang lain saat mereka dirasa terlampau tinggi dalam menetapkan pajak, berlebih-lebihan dalam menggunakan sumber daya, atau menumpahkan darah lebih dari yang seharusnya. Hal ini berbeda dengan penerus 'Abdul Malik, Al-Walid, yang lebih memberikan Al-Hajjaj kebebasan lantaran merasa berhutang budi telah mendukungnya untuk naik takhta.
Masa-masa akhir kekuasaan 'Abdul Malik disifati dengan pengukuhan kekuasaan yang damai dan makmur. Salah satu masalah utama yang dihadapi 'Abdul Malik adalah perihal pewaris. Di tahun-tahun terakhir Marwan, 'Abdul Malik dilantik sebagai putra mahkota dan 'Abdul 'Aziz menjadi putra mahkota kedua. Itu artinya, sepeninggal 'Abdul Malik, takhta harusnya diserahkan kepada 'Abdul 'Aziz. 'Abdul Malik sendiri menginginkan agar putranya, Al-Walid, yang menjadi penerusnya, tetapi 'Abdul 'Aziz tidak berniat melepas statusnya. Namun potensi perselisihan pewaris ini dapat dihindari setelah 'Abdul 'Aziz meninggal pada Mei 705. 'Abdul Malik kemudian mengangkat Al-Walid sebagai putra mahkota dan Sulaiman, putranya yang lain, sebagai putra mahkota kedua. 'Abdul Malik sendiri mangkat sekitar lima bulan setelahnya, yakni pada awal Oktober. Sepeninggalnya, putra-putranya memegang tampuk kekhalifahan sampai tahun 743, kecuali pada tahun 717–720.