Abu Lubaba bin Abd al-Mundzir adalah Sahabat Nabi Muhammad. Ia merupakan anggota Bani Aus yang memeluk Islam pada tahun 622. Abu Lubabah termasuk salah seorang Muslim pilihan yang telah membela dan menegakkan agama Islam. Dia adalah salah seorang pahlawan Muslimin dalam peperangan, yang telah mempersembahkan diri dan nyawanya di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran dan meninggikan agama-Nya.
Dia dilahirkan di Yatsrib (Madinah) yang subur dan banyak terdapat mata air, yang ditumbuhi pepohonan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat dinikmati hewan dan manusia. Memang tiap daerah memiliki pengaruh kuat terhadap sepak terjang seseorang dan arah pemikirannya. Begitu juga dengan penduduk kota Madinah. Mereka pada umumnya dikenal memiliki akhlak yang luhur, pemaaf, berperasaan halus, dan suka berbuat baik pada sesamanya.
Abu Lubabah termasuk laki-laki seperti itu yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an, "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung." (QS Al-Hasyr: 9)
Istrinya adalah Khansa binti Khandam Al-Anshariyah dari golongan Aus. Pernikahan keduanya mendapat karunia seorang anak perempuan bernama Lubabah. Demikianlah, Abu Lubabah mendapatkan panggilannya. Abu Lubabah termasuk orang pertama yang masuk Islam, ketika beberapa orang Anshar berjumpa dengan Mush'ab bin Umair di Madinah. Ia juga salah seorang Anshar yang menghadiri Baiat Aqabah Kedua.
Abu Lubabah kemudian kembali ke Madinah setelah pertemuannya dengan Rasulullah SAW. Ia merasa kagum sekali atas kepribadian dan keluhuran budi pekerti beliau. Tak lama setelah itu Rasulullah SAW telah berada di tengah-tengah kaum Muslimin di Madinah, menyusun syariat dan menetapkan undang-undang yang dibawa oleh Jibril dari Tuhannya. Tak lama setelah itu, pecahlah Perang Badar antara kaum musyrikin dan kaum Muslimin. Begitu Abu Lubabah mengetahui Rasulullah tengah mempersiapkan diri menyambut peperangan, ia pun bersiap-siap dan menemui Rasulullah dengan senjata di tangannya.
Akan tetap Rasulullah tidak mengizinkan Abu Lubabah ikut dalam perang. Ia diamanahkan mewakili beliau menjaga kota Madinah. Penjagaan keamanan dan ketertiban kota itu tidak kurang pentingnya dengan perang di medan laga. Abu Lubabah diberi tanggungjawab memelihara keamanan dan keselamatan penduduk kota Madinah. Ia juga diberi amanah menjaga keamanan dan keselamatan pepohanan dan buah-buahan, memenuhi kebutuhan warga yang kelaparan dan semua kebutuhan lain, sampai pasukan Islam kembali dari medan laga.
Abu Lubabah mematuhi perintah dan tugas dari Rasulullah dengan baik. Ia memimpin kota Madinah dan mempersiapkan bekal yang mungkin dibutuhkan oleh pasukan yang sedang berperang, dan menggalakkan pembuatan senjata perang siang dan malam, sehingga pasukan Muslimin memiliki persenjataan dan perbekalan yang lengkap. Dalam penyerbuan Rasulullah SAW ke perbentengan Yahudi Bani Quraizhah, Abu Lubabah ikut bersama beliau, dan pemimpin pemerintahan di Madinah diserahkan kepada Abdullah ibnu Ummi Maktum. Rasulullah bersama para sahabatnya mengepung benteng Bani Quraizhah selama 25 malam, sehingga mereka hidup dalam kekurangan dan ketakutan.
Mereka kemudian mengirim seorang utusan kepada Rasulullah, meminta Abu Lubabah bin Mundzir dikirimkan kepada mereka untuk dimintakan pendapatnya. Rasulullah memerintahkan Abu Lubabah pergi menemui mereka. Sebelumnya, Rasulullah meminta pendapat mereka agar yang akan memberikan keputusan adalah Sa'ad bin Mu'adz. Begitu anak-anak dan istri-istri mereka melihat Abu Lubabah datang, mereka menangis meraung-raung, memohon belas kasihannya. Sudah tentu, Abu Lubabah sebagai manusia tidak bisa menyembunyikan rasa iba dan harunya kepada mereka. "Kami sudah mengatakan bahwa penduduk Madinah pada umumnya berhati lembut dan berjiwa pemaaf. Kasih sayangnya kepada sesamanya sangat besar," kata mereka.
Tentu saja Abu Lubabah, sebagai manusia, terpengaruh dengan ucapan ini. Mereka bertanya, "Wahai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu, apakah kami akan tunduk kepada putusan Sa'ad bin Mu'adz?" Abu Lubabah lalu mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya yang diletakkan ke lehernya, bahwa mereka akan disembelih. Maka ia menyuruh mereka agar tidak mau menerima. Abu Lubabah menyadari kesalahannya. "Demi Allah, kedua kakiku belum beranjak dari tempatku melainkan telah mengetahui bahwa aku telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya."
Ia kemudian pergi ke masjid dan mengikatkan tubuhnya pada salah satu tiang. "Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum hingga mati atau Allah mengampuni dosaku itu," ujarnya lirih. Tujuh hari lamanya ia tidak makan dan minum sehingga tak sadarkan diri, kemudian Allah mengampuninya. Lalu ada yang menyampaikan berita itu kepadanya, "Wahai Abu Lubabah, Allah telah mengampuni dosamu." Ia berkata, "Tidak. Aku tidak akan membuka ikatanku sebelum Rasulullah datang membukanya." Tak lama setelah itu, Rasulullah pun datang membukanya. Abu Lubabah berkata kepada beliau, "Kiranya akan sempurna taubatku, kalau aku meninggalkan kampung halaman kaumku, tempatku melakukan dosa. Dan aku akan menyumbangkan seluruh hartaku."
Rasulullah SAW menjawab, "Kau hanya dibenarkan menyumbang sepertiganya saja." Begitulah. Abu Lubabah mendapat ampunan, baik dari Rasulullah SAW maupun dari Allah SWT. Dia pun aktif bersama kaum Muslimin lainnya dalam berbagai peperangan. Dalam penaklukan kota Makkah, ia memegang panji Bani Amru bin Auf, dan ia menyaksikan masuknya orang-orang secara berbondong-bondong ke dalam agama Islam. Abu Lubabah wafat pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib