Abu Musa al-Asy'ari yang bernama asli Abdullah bin Qais bin Sulaim al-Asy'ari, adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad. Abu Musa al-Asy'ari berasal dari Yaman, dan masuk Islam di Mekkah sebelum terjadinya Hijrah. Ia dan dua saudara tuanya Abu Burdah dan Abu Ruhm, beserta 50 orang kaumnya meninggalkan Yaman dan ikut berhijrah ke Habasyah dengan menaiki dua kapal. Abu Musa dan kaum pengikutnya kemudian berhijrah ke Madinah dan menemui Nabi Muhammad setelah Pertempuran Khaibar pada tahun 628. Setelah terlibat dalam Fathu Makkah pada tahun 629, Abu Musa menjadi salah seorang pemimpin pasukan muslim dalam Pertempuran Authas pada tahun 630. Dua tahun kemudian, Nabi Muhammad mengutus Abu Musa dan Mu'adz bin Jabal ke Yaman untuk menjadi pemimpin umat dan menyebarkan ajaran Islam di sana. Hadits terkenal yang diriwayatkan oleh Abu Burdah, dari ayahnya, dari kakeknya, menyebutkan bahwa Nabi Muhammad berpesan kepada mereka sebelum mereka berangkat: "Hendaklah kalian mudahkan dan jangan persulit, beri kabar gembira dan jangan membuat orang lari, saling patuhlah kalian berdua dan jangan saling bersengketa". Kaum pengikut Abu Musa (yang dinamakan Al-Asy'ariyyin) disebutkan dalam hadits sebagai orang-orang yang senang tolong-menolong dan memiliki kelebihan suara yang merdu dan tajwid dalam membaca Al-Qur'an. Abu Musa juga memiliki kelebihan tersebut, sehingga Nabi Muhammad secara khusus pernah memujinya: "Sungguh, engkau telah diberi (suara seperti) seruling dari seruling-seruling keluarga Nabi Daud".
Abdullah bin Qais bin Sulaim dikenal sebagai imam besar, sahabat Rasulullah SAW, dan ahli ilmu fikih yang mengajarkan Al Qur`an.
Dia termasuk sahabat yang berguru kepada Nabi SAW, mengajar penduduk Bashrah membaca Al Qur'an, dan memahamkan agama kepada mereka. Dalam kitab Shahihain disebutkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Burdah bin Abu Musa, dari ayahnya, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Ya Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah dia pada Hari Kiamat nanti di tempat yang mulia.” Nabi SAW telah mengangkat Abdullah bin Qais dan Mu’adz sebagai Gubernur Zabid dan Adn. Abu Musa Al Asy’ari juga pernah menjadi Gubernur Kufah dan Bashrah pada masa pemerintahan Umar. Dia ikut menghadapi malam-malam pembebasan perang Khaibar, berperang dan berjuang bersama Nabi SAW, serta menimba banyak ilmu dari beliau. Sa’id bin Abdul Aziz berkata: Abu Yusuf, sekertaris Mu’awiyah, bercerita kepadaku bahwa Abu Musa Al Asy’ari pernah menghadap Mu’awiyah, lalu dia singgah di beberapa rumah di Damaskus. Pada malam harinya Mu’awiyah keluar untuk mendengarkan bacaannya. Al Ijli berkata, “Umar pernah mengirim Abu Musa sebagai pemimpin Bashrah. Dia kemudian mengajari penduduk Bashrah membaca Al Qur`an dan memahamkan agama kepada mereka. Dia juga sahabat yang membebaskan kota Tustar. Tidak ada seorang sahabat pun yang suaranya lebih bagus darinya.”
Husain Al Muallim berkata: Aku mendengar Ibnu Buraidah berkata, “Al Asy’ari orangnya pendek, berjenggot tipis, dan gesit.” Diriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata, “Kami pernah keluar dari Yaman bersama 50 lebih kaumku. Sedangkan kami adalah tiga bersaudara, yaitu aku (Abu Musa), Abu Ruhm, dan Abu Amir. Perahu lalu membawa kami ke Najasyi, ternyata di sana ada Ja’far serta sahabat-sahabatnya. Dia lantas menyambut kami ketika penaklukkan kota Khaibar. Setelah itu Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalian telah hijrah dua kali, yaitu hijrah ke Najasyi dan kepadaku’.” Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Besok sekelompok orang akan datang menemui kalian. Hati mereka lebih halus kepada Islam daripada kalian’. Orang-orang Asy’ari pun menyambut mereka, lalu mereka melantunkan syair, Besok kami bertemu kekasih Muhammad dan golongannya. Ketika mereka bertemu, mereka saling berjabat tangan, sehingga mulai sejak itu Sunnah berjabat tangan berlaku.”
Diriwayatkan dari Iyadh Al Asy’ari, dia berkata: Ketika ayat “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ….” (Qs. Al Maa`idah [5]: 57) turun, Nabi SAW bersabda, “Mereka adalah kaummu wahai Abu Musa.” Beliau kemudian memberikan isyarat kepadanya. Diriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata, “Ketika Rasulullah SAW pulang dari perang Hunain, beliau mengutus Abu Amir Al Asy’ari untuk mempimpin pasukan menuju Authas.182 Dia kemudian bertemu dengan Duraid bin Ash-Shimmah, lalu dia membunuhnya. Setelah itu Allah mengalahkan sahabat-sahabatnya. Tiba-tiba ada seorang pria menembak lutut Abu Amir dengan panah, namun dia berusaha untuk bertahan. Aku lalu bertanya, ‘Wahai Paman, siapa yang memanahmu?’ Dia lalu menunjuk kepada laki-laki tersebut. Aku pun segera mengejarnya. Ketika melihatku, dia melarikan diri, maka aku berkata kepadanya, ‘Apakah kamu tidak malu? Bukankah kamu orang Arab? Apakah kamu tidak berani?’ Dia menjawab, ‘Cukup!’ Akhirnya aku dan dia bertempur dan saling menghantam, hingga akhirnya aku berhasil membunuhnya.
Setelah itu aku kembali ke Abu Amir. Aku lalu berkata, ‘Sungguh, Allah telah membunuh orang yang melukaimu’. Dia berkata, ‘Cabutlah anak panah ini!’ Aku pun mengambilnya dan darah mengucur deras dari lukanya. Dia lantas berkata, ‘Wahai anak pamanku, pergilah menemui Rasulullah SAW dan sampaikan salamku kepada beliau. Katakan kepada beliau agar memintakan ampun untukku!’
Selanjutnya Abu Amir memintaku agar menggantinya sebagai pemimpin pasukan. Setelah itu Abu Amir bertahan sebentar, lalu meninggal dunia. Ketika kami menghadap dan mengabarkan berita itu kepada Nabi SAW, beliau berwudhu kemudian mengangkat kedua tangannya dan berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah hambamu, Abu Amir!’ sampai-sampai aku melihat kedua ketiak beliau yang putih. Beliau kemudian berdoa, ‘Ya Allah, jadikanlah dia pada Hari Kiamat kelak berada di atas makhluk-makhlukmu’. Kemudian aku berkata, ‘Untukku juga ya Rasulullah?’ Nabi SAW lantas menjawab, ‘Ya Allah, ampunilah dosa-dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah dia ke dalam golongan orang-orang yang mulia’.”
Diriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata: Ketika aku bersama Rasulullah SAW di Ji’ranah, datanglah seorang pria Arab lalu berkata, “Tidakkah engkau ingin menepati janji kepadaku?” Rasulullah SAW menjawab, “Bergembiralah!” Dia berkata, “Engkau telah banyak memberi kabar gembira.” Mendengar itu, beliau menatapku dan Bilal, lalu bersabda, “Sesungguhnya pria ini telah menolak kabar gembira, maka terimalah kalian berdua.” Keduanya lalu berkata, “Kami terima ya Rasulullah.” Setelah itu beliau menyuruh mengambil seember air, lalu beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya, lantas bersabda, “Minumlah air ini lalu tumpahkan ke atas kepala dan di sebelah atas dada kalian.” Mereka berdua pun melaksanakannya. Ummu Salamah kemudian memanggil mereka dari balik kain penghalang agar sudi menyisakan air tersebut kepadanya. Mereka berdua pun menyisakannya untuknya.
Diriwayatkan dari Abu Buraidah, dari ayahnya, dia berkata, “Pada suatu malam ketika aku keluar dari masjid, aku melihat Nabi SAW berdiri di pintu masjid. Ketika ada seorang pria yang sedang shalat, beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Buraidah, apakah engkau melihat pria itu berbuat riya?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Tetapi dia orang yang beriman dan bertobat. Allah telah memberinya suara yang bagus seperti suara Nabi Daud’. Setelah itu aku mendatanginya, ternyata dia Abu Musa. Aku lalu memberitahukan apa yang disampaikan Nabi SAW tentang dirinya.” Ketika pria itu membaca Al Qur`an, beliau bersabda, ‘Sungguh, lelaki ini telah diberi suara yang bagus seperti suara Nabi Daud’. Aku lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberitahukan dirinya tentang hal ini?’ Beliau menjawab, ‘Boleh.’ Aku pun memberitahukan hal itu kepadanya. Dia lantas berkata kepadaku, ‘Engkau tetap akan menjadi temanku’. Ternyata dia Abu Musa.”
Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, dia berkata, “Kami pernah datang menemui Ali lalu bertanya tentang sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW, dia berkata, ‘Siapa saja yang ingin kalian tanyakan kepadaku?’ Kami menjawab, ‘Tentang Ibnu Mas’ud’. Dia berkata, ‘Dia memahami Al Qur`an dan Sunnah sampai selesai dan ilmunya cukup mendalam’. Aku lalu bertanya, ‘Bagaimana dengan Abu Musa?’ Dia menjawab, ‘Dia orang yang kuat agamanya, kemudian meninggal dalam keadaan seperti itu’. Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan Hudzaifah?’ Dia menjawab, ‘Dia sahabat yang paling tahu tentang orang-orang munafik’. Mereka lanjut bertanya, ‘Bagaiman dengan Salman?’ Dia menjawab, ‘Dia sahabat yang memahami ilmu dunia dan akhirat. Dia bagaikan lautan yang dasarnya tidak bisa digapai. Dia termasuk golongan Ahlul Bait’. Mereka bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan Abu Dzar?’ Dia menjawab, ‘Dia orang yang menyadari ilmu yang tidak mampu dikuasainya’. Setelah itu dia ditanya tentang dirinya sendiri, lalu dia berkata, ‘Aku orang yang jika meminta akan diberi dan jika diam akan disapa (ditegur)’.” Masruq berkata, “Hakim di kalangan sahabat ada enam, yaitu Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubai, Zaid, dan Abu Musa.”
Diriwayatkan dari Sufyan bin Sulaim, dia berkata, “Tidak ada seorang sahabat pun yang berani berfatwa di masjid pada zaman Rasulullah SAW selain beberapa orang, yaitu Umar, Ali, Mu’adz, dan Abu Musa.” Diriwayatkan dari Ayub, dari Muhammad, dari Umar, dia berkata, “Di Syam ada 40 lelaki, yang apabila salah seorang dari merekan diserahkan urusan umat maka dia pasti bisa menjalankannya dengan baik. Oleh karena itu, diutuslah seorang delegasi kepada mereka. Tak lama kemudian sekelompok orang datang bersama Abu Musa. Lalu Umar berkata, ‘Aku mengirimmu kepada kaum yang syetan telah bermarkas di tengah-tengah mereka’. Abu Musa lalu menjawab, ‘Jangan mengutusku!’ Umar berkata, ‘Tapi di dalamnya ada jihad dan ribath’. Umar pun mengirimnya ke Bashrah.” Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Suatu ketika Al Asy’ari mengutusku menemui Umar, lalu Umar berkata kepadaku, ‘Bagaimana keadaan Al Asy’ari ketika kamu meninggalkannya?’ Aku menjawab, ‘Aku meninggalkannya ketika dia sedang mengajar Al Qur`an kepada orang-orang’. Setelah itu Umar berkata, ‘Memang dia sungguh cerdas! Kamu tidak perlu menyampaikan hal ini kepadanya’.”
Diriwayatkan dari Abu Salamah, dia berkata, “Ketika Umar duduk di samping Abu Musa, dia berkata kepada Abu Musa, ‘Ingatkanlah kami wahai Abu Musa!’ Abu Musa pun membacakan Al Qur`an kepadanya.” Abu Ustman An-Nahdi berkata, “Aku tidak pernah mendengar seruling, tamborin, atau simbol yang lebih bagus daripada suara Abu Musa Al Asy’ari. Jika dia shalat bersama kami maka kami akan mengangguk-angguk karena suaranya yang sangat bagus ketika membaca surah Al Baqarah.” Diriwayatkan dari Masruq, dia berkata, “Kami pernah keluar bersama Abu Musa dalam sebuah pertempuran. Menjelang malam kami masih berada di medan perang. Kemudian Abu Musa melaksanakan shalat, ia melantunkan bacaan dengan suara yang bagus. Dia berdoa, ‘Ya Allah, Engkau yang mengaruniakan keamanan, menyukai orang-orang beriman, Engkau Maha Memelihara, menyukai orang yang memelihara, Engkau Maha Sejahtera menyukai kesejahteraan’.”
Abu Burdah berkata, “Ketika Mu’awiah menjabat sebagai khalifah, aku mendatanginya. Ketika itu pintunya tidak pernah terkunci bagiku dan jika aku mempunyai hajat, dia selalu dicukupi.” Menurut aku, Abu Musa adalah sosok sahabat yang suka berpuasa, bangun malam, rabbani, ahli zahud, ahli ibadah, orang yang memadukan antara ilmu, amal, dan jihad, hatinya tulus, tidak tergoda dengan kekuasaan, dan tidak tertipu oleh dunia. Shalih bin Musa Ath-Thalhah meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata, “Sebelum Al Asy’ari meninggal, dia telah melakukan ijtihad sekuat tenaga. Kemudian ada yang berkata kepadanya, ‘Alangkah baiknya jika engkau tidak terlalu memaksakan diri dan menyayangi diri sendiri?’ Dia menjawab, ‘Jika seekor kuda dikendarai dan sudah mendekati finish, maka dia akan mengeluarkan seluruh kemampuannya. Sementara sisa umurku lebih sedikit dari itu’.” Beliau meninggal tahun 42 Hijriyah.