Said bin Amir al-Jumahi adalah Sahabat Nabi Muhammad dan Gubernur Homs pada masa Khalifah Umar. Dia merupakan saksi dari pelaksanaan hukuman mati yang dilakukan kaum Quraisy kepada Khubaib bin Adi di Mekkah, sebelum memeluk Islam. Setelah menerima Islam, dia ikut dalam Pertempuran Khaibar bersama dengan Nabi Muhammad. Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, pada masa Khalifah Umar Said bin Amir al-Jumahi diangkat menjadi Gubernur Homs atau Himsh. Ketika Khalifah Umar berkunjung ke Homs, dia kemudian menanyakan kepada masyarakat bagaimana kepemimpinan Said bin Amir al-Jumahi. Masyarakat menyatakan kepemimpinan Said bin Amir al-Jumahi baik, kecuali empat hal yaitu Said bin Amir al-Jumahi datang untuk bekerja tidak dari pagi hari, ketika malam Said bin Amir al-Jumahi tidak pernah mau menerima tamu, satu hari dalam sebulan tidak menemui masyarakat, dan kadang-kadang Said bin Amir al-Jumahi tiba-tiba dapat jatuh pingsan.
Kemudian Khalifah Umar menanyakan langsung kepada Said bin Amir al-Jumahi tentang permasalahan yang diadukan masyarakat. Said bin Amir al-Jumahi, menjawab bahwa dia tidak dapat melayani masyarakat dari pagi hari, karena tidak memiliki pembantu dan harus mengerjakan pekerjaan rumah terlebih dahulu. Pada malam hari tidak menerima tamu, karena urusan dengan masyarakat hanya pagi hingga sore hari dan waktu malam saat bagi Said bin Amir al-Jumahi untuk beribadah kepada Allah. Sekali dalam satu bulan dia tidak dapat menemui masyarakat, karena dia harus mencuci baju yang hanya dimiliki satu-satunya, sehingga tidak dapat menemui masyarakat. Dan kadang-kadang, dia tiba-tiba pingsan disebabkan teringat atas kematian Khubaib bin Adi, Said bin Amir al-Jumahi merasa bersalah karena tidak dapat menolong Khubaib bin Adi. Kemudian Umar mengucapkan “Alhamdulillah, Penilaianku terhadap Said telah terjawab dengan jawaban yang diberikan Said. Ia adalah salah satu Muslim terbaik dan setiap pertanyaan atas diri Said bin Amir al-Jumahi telah terjawab.
Beberapa utusan dari penduduk Himsh datang kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab. Umar berkata kepada mereka, “Tuliskan nama-nama orang fakir kalian, supaya aku dapat menutup kebutuhan mereka!” Maka mereka menyodorkan selembar tulisan, yang di dalamnya ada Fulan, Fulan dan Sa’id bin Amir. Umar bertanya, Siapakah Sa’id bin Amir ini?” Mereka menjawab, “Gubernur kami.” “Gubernurmu fakir?” “Benar, dan demi Allah sudah beberapa hari di rumahnya tidak ada api.” Maka Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata. Kemudian ia mengambil 1.000 dinar dan menaruhnya dalam kantong kecil dan berkata, "Sampaikan salamku, dan katakan kepadanya, Amirul Mukminin memberi anda harta ini, supaya anda dapat menutup kebutuhan anda!”
Saat para utusan itu mendatangi Sa’id dengan membawa kantong. Sa’id membukanya, ternyata di dalamnya ada uang dinar. Ia lalu meletakkannya jauh dari dirinya dan berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada-Nya)," seolah-olah ia tertimpa musibah dari langit atau ada suatu bahaya di hadapannya. Hingga keluarlah istrinya dengan wajah kebingungan dan berkata, “Ada apa, wahai Sa’id? Apakah Amirul Mukminin meninggal dunia?" “Bahkan lebih besar dari itu,” timpal Sa'id. “Apakah orang-orang Muslim dalam bahaya?” “Bahkan lebih besar dari itu.” “Apa yang lebih besar dari itu?” “Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku, dan fitnah telah datang ke rumahku.” Istrinya berkata, “Bebaskanlah dirimu darinya.” Saat itu istrinya tidak mengetahui tentang uang-uang dinar itu sama sekali. “Apakah kamu mau membantu aku untuk itu?” tanya Sa'id. “Ya,” kata sang istri.
Sa'id lalu mengambil uang-uang dinar dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong kecil, kemudian menyuruh sang istri untuk membagikannya kepada orang-orang Muslim yang fakir. Tak lama kemudian Umar bin Khathab datang ke negeri Syam untuk melihat keadaan. Dan ketika singgah di Himsh, penduduk menyambut dan menyalaminya. Umar bertanya kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian tentang gubernur kalian?” Maka mereka mengadukan kepadanya tentang empat hal, yang masing-masing lebih besar dari yang lainnya. Umar kemudian memanggil Sa'id dan 'mengadilinya' di hadapan penduduk. “Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?” tanya Umar. Mereka menjawab, “Ia tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.” “Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?” kata Umar. Sa'id terdiam sebentar, kemudian berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak ingin mengucapkan hal itu. Namun, kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu. Maka setiap aku pagi membuat adonan, kemudian menunggu sebentar sehingga adonan itu mengembang. Kemudian aku buat adonan itu menjadi roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar menemui orang-orang.”
"Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar. Mereka menjawab, “Sesungguhnya, ia tidak menerima tamu pada malam hari.” “Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?” “Sesungguhnya, Demi Allah, aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga. Aku telah menjadikan siang hari untuk mereka dan malam hari untuk Allah Azza wa Jalla,” jawab Sa'id. “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar lagi. Mereka menjawab, “Sesungguhnya ia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.” “Dan apa ini, wahai Sa’id?” Sa'id menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan. Dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada sore hari.” “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka menjawab, “Ia sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majelisnya.” “Dan apa ini, wahai Sa’id?” “Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib bin Adiy, kala itu aku masih musyrik. Dan aku melihat orang-orang Quraisy memotong-motong badannya sambil berkata, 'Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu?' Maka Khubaib berkata, 'Demi Allah, aku tidak ingin merasa tenang dengan istri dan anak, sementara Muhammad tertusuk duri.' Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana aku tidak menolongnya, kecuali aku menyangka bahwa Allah tidak mengampuni aku, maka aku pun jatuh pingsan,” tutur Sa'id.
Seketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya.” Kemudian Umar memberikan 1.000 dinar kepada Sa'id. Dan ketika istrinya melihat uang itu, ia berkata kepada Sa'id, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari pekerjaan berat untukmu. Belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu." “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari itu?” tanya Sa'id pada istrinya. “Apa itu?” “Kita berikan dinar itu kepada yang mendatangkannya kepada kita, pada saat kita lebih membutuhkannya.” “Bagaimana maksudnya?” “Kita pinjamkan dinar itu kepada Allah dengan pinjaman yang baik,” kata Sa'id. Istrinya berkata, “Benar, dan semoga kau mendapat balasan kebaikan.” “Berikanlah ini kepada jandanya fulan, kepada anak-anak yatimnya fulan, kepada orang-orang miskin keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan," kata Sa'id. Mudah-mudahan Allah meridhai Sa’id bin Amir Al-Jumahi, karena ia termasuk orang-orang yang mendahulukan orang lain atas dirinya, walaupun dirinya sangat membutuhkan.