Asma Binti Umays adalah wanita salehah Muhajirin yang masuk Islam sebelum Nabi Muhammad Saw, masuk ke Darul Arqam rumahnya Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Ummu 'Abdillah ‘Asma Binti Umays 'bin 'Ma'bad bin al-Harits bin Taim bin Ka'ab bin Malik bin Quhafah bin 'Amir bin Rabi'ah bin 'Amir bin Mu'awiyah bin Zaid bin Malik bin Basyar bin Wahabullah bin Syahran bin 'Afras bin Khalaf bin Khats'am bin Anmar al-Khats'amiyyah. Ibunya Hindun bin 'Auf bin Zuhair bin al-Harits. Saudari kandungnya, Salma binti Umays, istri Hamzah bin Abdul-Muththalib.
Asma binti Umays menikah dan hijrah dengan suaminya Ja'far bin Abi Thalib ke Habasyah dan ketika hijrah ke kota Madinah pada tahun 7 H, suaminya syahid pada perang Mu'tah tahun 629 Masehi. Kemudian menikah dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq setelah Ummi Ruman, istrinya meninggal dan Setelah sekian lama melangsungkan pernikahan yang penuh berkah, Allah mengaruniai kepada mereka berdua seorang anak laki-laki, yaitu Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Mereka ingin melangsungkan haji wada`, maka Abu Bakar menyuruh istrinya untuk mandi dan meyertai haji setelah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintanya. Kemudian Asma` menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang besar, namun peristiwa yang paling besar adalah wafatnya pemimpin anak Adam dan terputusnya wahyu dari langit Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian juga menyaksikan suaminya yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq Khalifah Pertama yang memegang tampuk kekhalifahan bagi kaum muslimin sehingga suaminya merampungkan problematika yang sangat rumit seperti memerangi orang murtad, memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat serta mengirim pasukan Usamah bin Zaid dan sikapnya yang teguh laksana gunung tidak ragu -ragu dan tidak pula bimbang, demikian pula dia menyaksikan bagaimana pertolongan Allah diberikan kepada kaum muslimin dengan sikap iman yang teguh tersebut. Asma` senantiasa menjaga agar suaminya senantiasa merasa senang dan dia hidup bersama suminya dengan perasaan yang tulus turut memikul beban bersama suaminya dalam urusan umat yang besar.
Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama sebab Khalifah Ash-Shidiq sakit dan semakin bertambah parah hingga keringat membasahi pada bagian atas kedua pipi dia. Ash-Shidiq dengan ketajaman perasaan seorang mukmin yang shiddiq merasakan dekatnya ajal dia sehingga dia bersegera untuk berwasiat. Adapun di antara wasiat dia adalah agar dia dimandikan oleh istrinya Asma` binti Umays, di samping itu dia berpesan kepada istrinya agar berbuka puasa yang mana dia berkata: “Berbukalah karena hal itu membuat dirimu lebih kuat.” Asma` merasa telah dekatnya wafat dia sehingga dia membaca istirja` dan memohon ampun sedangkan kedua mata dia tidak berpaling sedikitpun dari memandang suaminya yang ruhnya kembali dengan selamat kepada Allah. Hal itu membuat Asma` meneteskan air mata dan bersedih hati, akan tetapi sedikitpun dia tidak mengatakan sesuatu melainkan yang diridhai Allah Tabaraka Wa Ta`ala, dia tetap bersabar dan berteguh hati.
Selanjutnya dia menunaikan perkara penting yang diminta oleh suaminya yang telah tiada, karena dia adalah orang yang paling bisa dipercaya oleh suaminya. Mulailah dia memandikan suaminya dan hal itu menambah kesedihan dan kesusahan dia sehingga dia lupa terhadap wasiat yang kedua. Dia bertanya kepada para muhajirin yang hadir, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, namun hari ini adalah hari yang sangat dingin, apakah boleh bagiku untuk mandi?” mereka menjawab, “Tidak.” Di akhir siang sesuai dimakamkannya Ash-Shidiq tiba-tiba Asma` binti Umays ingat wasiat suaminya yang kedua yakni agar dia berbuka (tidak melanjutkan shaum). Lantas apa yang hendak dilakukannya sekarang? sedangkan waktu hanya tinggal sebentar lagi, menunggu matahari tenggelam dan orang yang shaum diperbolehkan untuk berbuka? apakah dia akan menunggu sejenak saja untuk melanjutkan shaumnya?
Kesetiaan terhadap suaminya telah menghalangi dia untuk mengkhianati wasiat suaminya yang telah pergi, maka dia mengambil air dan minum kemudian berkata: “Demi Allah aku tidak akan melanggar janjinya hari ini.” Setelah kepergian suaminya, Asma` melazimi rumahnya dengan mendidik putra-putranya baik dari Ja`far maupun dari Abu Bakar, dia menyerahkan urusan anak-anaknya kepada Allah dengan memohon kepada-Nya untuk memperbaiki anak-anaknya dan Allah pun memperbaiki mereka hingga mereka menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Inilah puncak dari harapan dia di dunia dan dia tidak mengetahui takdir yang akan menimpa dia yang tersembunyi di balik ilmu Allah.
Dialah Ali bin Abi Thalib r.a. saudara dari Ja`far yang memiliki dua sayap mendatangi Asma untuk meminangnya sebagai wujud kesetiaan Ali kepada saudaranya yang dia cintai yaitu Ja'far bin Abi Thalib begitu pula Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Setelah berulang-ulang berfikir dan mempertimbangkannya dengan matang maka Asma memutuskan untuk menerima lamaran dari Ali bin Abi Thalib r.a. sehingga kesempatan tersebut dapat digunakan untuk membantu membina putra-putra saudaranya Ja'far bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib r.a. menikahi Asma binti Umays. Maka berpindahlah Asma` ke dalam rumah tangga Ali setelah wafatnya Fatimah az-Zahra tahun 632 M dan ternyata dia juga memiliki suami yang paling baik dalam bergaul. Senantiasa Asma` memiliki kedudukan yang tinggi di mata Ali hingga dia sering mengulang-ulang di setiap tempat, “Di antara wanita yang memiliki syahwat telah menipu kalian, maka aku tidak menaruh kepercayaan di antara wanita melebihi Asma` binti Umays”. Allah memberikan kemurahan kepada Ali dengan mangaruniai anak dari Asma` yang bernama Yahya bin Ali bin Abi Thalib dan Aunan bin Ali bin Abi Thalib
Ali menyaksikan pemandangan yang asing yakni putra saudaranya Muhammmad bin Ja`far sedang berbantahan dengan Muhammad bin Abu Bakar dan masing-masing membanggakan diri dari yang lain dengan mengatakan, “Aku lebih baik daripada kamu dan ayahku lebih baik daripada ayahmu.” Ali tidak mengetahui apa yang mereka berdua katakan? Dan bagaimana pula memutuskan antara keduanya karena dia merasa simpati dengan keduanya? Maka tiada yang dapat dia lakukan selain memanggil ibu mereka yakni Asma binti Umays, kemudian berkata: “Putuslah antara keduanya! “Dengan pikirannya yang tajam dan hikmah yang mendalam dia berkata: “Aku tidak melihat seorang pemuda di Arab yang lebih baik daripada Ja`far dan aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih baik daripada Abu Bakar.” Inilah yang menyelesaikan urusan mereka berdua dan kembalilah kedua bocah tersebut saling merangkul dan bermain bersama, namun Ali ra.a merasa takjub dengan bagusnya keputusan yang diambil Asma` terhadap anak-anaknya.
Dengan menatap wajah istrinya, dia berkata: “Engkau tidak menyisakan bagi kami sedikitpun wahai Asma`?” Dengan kecerdasan yang tinggi dan keberanian yang luar biasa ditambah lagi adab yang mulia dia berkata: Di antara ketiga orang pilihan, kebaikan anda masih di bawah kebaikan mereka.” Ali tidak merasa asing dengan jawaban istrinya yang cerdas, maka dia berkata dengan kesatria dan akhlaq yang utama berkata: “Seandainya engkau tidak menjawab dengan jawaban tersebut niscaya aku cela dirimu.” Akhirnya kaum muslimin memilih Ali bin Abi Thalib r.a. sebagai Khalifah setelah Utsman bin Affan r.a, maka untuk kedua kalinya Asma` menjadi istri bagi seorang khalifah yang kali ini adalah Khalifah Rasyidin yang keempat, semoga Allah meridhai mereka semua.