Qais bin Sa’ad bin Ubadah berasal dari keluarga Arab paling dermawan dari turunannya yang mulia. Tentang keluarganya, Rasulullah pernah bersabda, “Kedermawanan menjadi karakter keluarga ini!” Ia adalah seorang yang cerdik dan pintar menunjukkan tipu muslihat, kepiawaian, dan kecerdikannya. Ia pernah mengatakan secara jujur tentang dirinya, “Kalau bukan karena Islam, saya sanggup membuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab mana pun!” karena, ia adalah seorang yang sangat cerdas, banyak akal, dan encer otaknya. Pada peristiwa Perang Shiffin, ia berdiri di pihak Ali melawan Mu’awiyah. Ketika itu ia merencanakan sendiri tipu muslihat yang mungkin akan membinasakan Mu’awiyah dan para pengikutnya suatu hari atau suatu ketika nanti. Hanya saja, ketika ia meneliti ulang muslihat yang telah memeras kecerdasannya, ia sadar bahwa itu adalah muslihat jahat yang membahayakan. Dia pun teringat firman Allah:
اسْتِكْبَارًا فِي الْأَرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ ۚ وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ ۚ فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا سُنَّتَ الْأَوَّلِينَ ۚ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلًا ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلًا
karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu. QS:Faathir | Ayat: 43
Dia pun segera membuang jauh-jauh rencananya tersebut dan meminta ampun kepada Allah. Saat itu juga ia mengatakan, “Demi Allah, seandainya Mu’awiyah dapat mengalahkan kita nanti, kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, melainkan karena kesalehan dan ketakwaan kita.” Pemuda Anshar yang merupakan bagian dari suku Khazraj ini berasal dari keluarga pemimpin besar, yang mewariskan sifat-sifat mulia seorang pemimpin besar kepada pemimpin besar pula. Ia adalah putra Sa’ad bin Ubadah,seorang pemimpin Khazraj, yang akan kita temui kisah hidupnya di bagian selanjutnya.
Ketika Sa’ad masuk Islam, ia membawa anaknya Qais dan menyerahkannya kepada Rasulullah sambil berkata, “Inilah pelayanmu, wahai Rasulullah.” Rasulullah dapat melihat segala tanda-tanda keutamaan dan ciri-ciri kebaikan pada diri Qais. Karena itulah, beliau merangkul dan mendekatkannya ke beliau, yang selanjutnya Qais menjadi seorang yang selalu dekat di sisi beliau. Anas, shahabat Rasulullah pernah mengatakan, “Kedudukan Qais bin Sa’ad di sisi Nabi itu seperti kedudukan pengawal di sisi pemimpin.”
Sebelum masuk Islam, Qais memperlakukan orang-orang dengan segala kecerdikannya, dan mereka tidak berdaya melawan kelicikannya. Tidak ada seorang pun di kota Madinah dan sekitarnya yang tidak memperhitngkan kelihaian ini dan mereka sangat waspada. Setelah memeluk Islam, Islam mengajarkan kepadanya untuk memperlakukan manusia dengan kejujuran, tidak dengan kelicikan. Dia pun berubah menjadi salah seorang anak muda yang banyak berbakti untuk Islam dan setelah itu membuang jauh-jauh kelicikannya dan tidak akan mengulangi kembali tindakan-tindakan liciknya pada masa silam.
Setiap menghadapi suatu kejadian yang sukar dan teringat kepada praktiknya yang lama, ia pun langsung sadar lalu mengucapkan kata-kata yang diriwayatkan hingga sampai kepada kita, “Kalau bukan karena Islam, akan kubuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh bangsa Arab.” Tidak ada karakter lain pada dirinya yang lebih menonjol daripada kecerdikannya selain kedermawanan pada dirinya. Dermawan dan pemurah bukanlah merupakan karakter baru bagi Qais, karena ia berasal dari keluarga yang turun-menurun terkenal dermawan dan pemurah.
Keberaniannya telah dikenal di semua medan tempur yang dilakoninya bersama Rasulullah semasa beliau masih hidup. Dan itu tetap dikenal pada pertempuran-pertempuran yang diterjuninya sesudah beliau wafat. Keberanian yang selalu berlandaskan pada kebenaran dan kejujuran sebagai ganti kecurangan dan kelicikan, dengan cara terbuka dan berhadap-hadapan, bukan dengan menyebarkan isu dari belakang, tidak pula dengan tipu muslihat buruk, yang tentu saja membuat pelakunya harus menanggung kesulitan yang menekan. Sejak Qais membuang jauh kemampuannya yang luar biasa dalam berdiplomasi secara licik dan bersilat lidah, dan ia beralih ke perangai seorang pemberani secara terbuka dan terus terang. Ia merasa puas dengan pembawaan yang baru ini, dan bersedia memikul akibat dan kesukaran yang silih berganti dengan hati yang rela.
Keberanian sejati itu memancar dari kelegaan hati orang itu sendiri, bukan karena dorongan hawa nafsu dan keuntungan tertentu, melainkan karena ketulusan hati dan pengakuan terhadap kebenaran. Hal ini terbukti ketika terjadi perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, kita melihat Qais lebih memilih mengucilkan diri dan terus berusaha mencari kebenaran dari celah-celah kemantapan hatinya tersebut. Akhirnya, ketika ia melihat kebenaran itu berada di pihak Ali, ia pun segera bangkit dan berdiri di sampingnya dengan gagah berani, teguh, dan berjuang secara mati-matian.
Di medan Perang Shiffin, Jamal, dan Nahrawan, Qais merupakan salah seorang pahlawan yang berperang tanpa takut mati. Dialah yang membawa bendera Anshar dengan meneriakkan: Bendera inilah bendera persatuan.. Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan.. Tidak akan gentar andai hanya Anshar pengibarnya.. Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya..
Qais telah diangkat oleh Ali sebagai gubernur Mesir. Tetapi, mata Mu’awiyah selalu mengincar wilayah ini. Ia memandang Mesir sebagai permata berlian yang paling berharga pada suatu mahkota yang sangat didambakannya. Oleh karena itu, tidak lama setelah Qais memangku jabatan sebagai amir di wilayah tersebut, Mu’awiyah merasa khawatir bila nantinya Qais menjadi halangan bagi cita-citanya terhadap Mesir sepanjang masa, bahkan sekalipun ia meraih kemenangan nanti atas Ali dengan kemenangan yang menentukan.
Selanjutnya Mu’awiyah berusaha dengan tipu daya dan muslihat—yang tidak terbatas pada satu bentuk saja—untuk membangkitkan amarah Ali kepada Qais, sampai akhirnya Ali memanggilnya dari Mesir. Pada kesempatan inilah, Qais memperoleh kesempatan yang menguntungkan untuk mempergunakan kecerdasannya menyusun rencana. Dengan kecerdasannya, ia tahu bahwa Mu’awiyah yang memegang peranan dalam memfitnahnya, setelah ia gagal menarik Qais ke pihaknya untuk memusuhi Ali dan mempergunakan kepemimpinannya untuk membantunya.
Untuk mematahkan tipu daya tersebut, Qais memperkuat dukungannya kepada Ali dan terhadap kebenaran yang berada di pihaknya. Ali merupakan seorang pemimpin yang saat itu menjadi tempat persinggahan kesetiaan dan kepercayaan teguh dari Qais bin Sa’ad bin Ubadah. Demikianlah, Qais tidak merasa sedikit pun merasa bahwa Ali telah memecatnya dari Mesir. Bagi Qais, tidak ada artinya wilayah kekuasaan, tidak ada artinya pangkat, kepemimpinan, dan jabatan. Semuanya itu baginya hanyalah sarana guna mengabdikan diri membela keyakinan dan agamanya. Bila jabatan amir di Mesir itu merupakan suatu jalan untuk mengabdikan diri kepada kebenaran, sikapnya membela Ali di medan laga adalah suatu jalan lain yang tidak kurang penting dan mengagumkan.
Keberanian Qais mencapai puncak kejujuran dan kematangannya setelah Ali syahid dan Al-Hasan dibaiat. Qais memandang Al-Hasan sebagai tokoh yang cocok menurut syariat untuk menjadi Amirul Mukminin, sehingga Qais pun berbaiat kepadanya dan berdiri di samping Al-Hasan sebagai pembela, tanpa memedulikan bahaya yang akan menimpa. Ketika Mu’awiyah mmaksa mereka untuk menghunus pedang, Qais bangkit memimpin lima ribu prajurit dengan penampilan kepala yang dicukur gundul semuanya sebagai tanda berkabung atas wafatnya Ali. Namu, akhirnya Hasan mengalah dan lebih suka membalut luka kaum Muslimin yang telah sedemikian parah, dengan memerintahkan agar menghentikan perang yang telah menghabiskan nyawa dan harta itu, lalu berunding dengan Mu’awiyah dan kemudian berbaiat kepada Mu’awiyah.
Saat itulah, Qais mulai merenung lagi masalah tersebut. Menurut pendapatnya, sekalipun pendirian Al-Hasan benar, pasukan Qais tetap menjadi tanggung jawabnya dan pilihan terakhir terletak atas hasil keputusan musyawarah. Dia pun mengumpulkan mereka semua, lalu ia berpidato di hadapan mereka, “Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita dijemput oleh kematian lebih dahulu. Tetapi, jika kalian memilih berdamai, aku akan mengambil langkah untuk itu.” Pasukannya memilih yang kedua, sehingga ia meminta keamanan dari Mu’awiyah yang memberikannya dengan penuh sukacita, karena ia melihat angin takdir berhembus untuk membebaskannya dari musuhnya yang terkuat, paling gigih, serta berbahaya.
Pada tahun 59 H di Al-Madinah Al-Munawwarah, sosok cerdas yang oleh Islam kelicikannya telah dikendalikan itu pun wafat. Telah wafat tokoh yang pernah berkata, “Kalau bukan karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka.’ Niscaya akulah orang yang paling licik di antara umat ini.” Ia telah tiada dengan meninggalkan nama harum sebagai seorang lelaki terpercaya dalam segala tanggung jawab, janji, dan kesetiaan terhadap Islam.
#Lihat pula : Sa'ad bin 'Ubadah bin Dulaim - Sahabat Anshar