Abdu Yalil bin Amir - Utusan Banu Tsaqif Thaif

Abdu Yalil bin Amir - Utusan Banu Tsaqif ThaifUpaya pencarian nushrah (pertolongan) ke daerah Thaif belum mendapatkan keberhasilan. Malah penduduk Thaif mencaci maki dan melempari Rasulullah SAW dengan batu. Rasulullah SAW pergi ke Thaif pada tahun ke sepuluh kenabian, pada akhir bulan Mei atau awal Juni 619 Masehi. Beliau ditemani oleh pembantunya, Zaid bin Haritsah. Thaif terletak kurang lebih 60 mil dari Mekah. Jarak itu ditempuh oleh keduanya dengan berjalan kaki. Setiap kali menemui kabilah beliau selalu menyeru kepada Islam. Tetapi tidak satupun dari kabilah-kabilah itu yang memenuhi panggilan Rasulullah. Tujuan Rasulullah pergi ke Thaif adalah untuk berbicara dengan pemimpin Bani Tsaqif. Setelah beliau sampai di Thaif, beliau memutuskan untuk menemui tiga bersaudara, yang ketika itu ketiganya merupakan pemimpin Bani Tsaqif dan sekaligus tokoh yang dimuliakan. Mereka itu adalah Abdu Yalil bin Amr bin Umair, Mas’ud bin Amr bin Umair, dan Hubaib bin Amr bin Umair. Salah seorang dari mereka menikah dengan perempuan Quraisy dari Bani Jumah. Rasulullah SAW pun menemui mereka dan menyeru mereka kepada Allah.

Rasulullah SAW menyampaikan kepada mereka maksud kedatangan beliau, yakni meminta mereka agar mau membantu Islam dan bersama-sama menghadapi orang-orang yang menentangnya. Lalu salah seorang dari mereka berkata kepada Rasulullah SAW, “Tercabik-cabiklah kain penutup Ka’bah jika memang Allah telah mengutusmu sebagai rasul!. ” Orang kedua berkata, “Apakah Allah tidak menemukan orang lain untuk diutus-Nya selain kamu?” sergah yang lain. Orang ketiga berkata, “Demi Allah, aku tidak akan berbicara denganmu selamanya jika kamu benar-benar utusan Allah seperti yang kamu katakan. Sungguh bahayamu lebih besar daripada berbicara denganmu. Kamu benar-benar telah berdusta atas nama Allah, inilah yang menjadi alasan, mengapa aku tidak mau berbicara denganmu.” Sebelum Rasulullah SAW meninggalkan mereka, beliau berkata, “Jika kalian melakukan apa yang ingin kalian lakukan, maka rahasiakan dariku.” Rasulullah SAW tidak ingin hal itu sampai kepada kaum Qurays, agar keberanian dan penganiayaan mereka kepada Rasulullah SAW tidak bertambah. Memang mereka tidak melakukan, namun mereka telah memprovokasi orang-orang awam dan budak-budak mereka untuk mencaci-maki Rasulullah SAW, meneriakkan yel-yel yang sangat tidak etis tentang Rasulullah SAW, bahkan mereka melempari Rasulullah SAW dengan batu hinga kedua tumit beliau yang mulia berdarah. Zaid bin Haritsah melindungi beliau dengan badannya hingga entah berapa banyak luka di kepalanya. Kemudian beliau menyelamatkan diri dengan masuk ke kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah, yang keduanya saat itu berada di kebun.

Setelah tahu bahwa orang-orang awam Bani Tsaqif yang mengejarnya kembali, beliau kemudian pergi berteduh dan beristirahat di bawah naungan batang pohon anggur. Kedua anak Rabi’ah itu melihat Rasulullah SAW, namun karena tanamannya sangat lebat dan hijau maka orang-orang awam diantara penduduk Thaif tidak terlihat olehnya. Setelah duduk beberapa saat dan merasa tenang, beliau mengucapkan doa yang sangat terkenal, yang menunjukkan duka dan lara yang memenuhi hati beliau saat itu, karena kerasnya siksaan yang beliau terima, juga didorong oleh rasa memelas karena tak seorangpun yang mau beriman kepada beliau. Saat itu beliau berdoa: “Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadu tentang ketidak berdayaanku, sedikitnya tipu dayaku, dan kehinaanku di hadapan manusia, wahai Dzat Yang Maha Penyayang di antara para penyayang. Engkau Tuhan bagi orang-orang yang lemah, Engkau Tuhanku, kepada siapa lagi Engkau akan membuatku letih, kepada yang jauh di sana yang akan menjumpaiku dengan wajah geram penuh kebencian atau kepada musuh yang Engkau beri dia kekuasaan atas urusanku? Seandainya aku tidak takut akan amarah-Mu, maka aku sudah tidak perduli lagi. Akan tetapi, keagungan-Mu itu yang paling tampak terbentang luas di hadapanku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang karenaya kegelapan-kegelapan menjadi bersinar, dan karenanya pula perkara dunia dan akhirat menjadi baik, dari mendapatkan amarah-Mu dan juga murka-Mu. Hanya karena-Mu aku kembali dan bebas dari keburukan hingga Engkau meridhaiku. Dan tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan daya dan kekuatan-Mu.”

Kisah tentang mereka bahwa ketika Rasulullah pergi dari kabilah Tsaqif, maka jejak-jejak beliau ditelusuri Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi yang kemudian bertemu beliau sebelum beliau tiba di Madinah. Kemudian Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi masuk Islam dan meminta izin kepada beliau untuk kembali kepada kaumnya. Rasulullah bersabda kepada Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi seperti dikatakan kaumnya, ‘Sesungguhnya mereka akan membunuhmu’. Rasulullah mengetahui bahwa kaum Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi mempunyai kesombongan dalam bentuk suka menolak. “Setelah terbunuhnya Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi, orang-orang Tsaqif berada di tempat mereka berbulan-bulan, kemudian mereka bermusyawarah sesama mereka dan berpendapat bahwa mereka tidak mem-punyai kekuatan untuk berperang melawan orang-orang Arab yang ada di sekitar mereka. Mereka pun berbaiat dan masuk Islam”. Mereka saling bermusyawarah dan akhirnya mereka sepakat untuk mengirim seseorang kepada Rasulullah sebagaimana mereka dulu pernah mengutus Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Untuk itu, mereka berbicara dengan Abdu Yalil bin Amr -ia seperti Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi- dan menawarkan tugas tersebut kepadanya, namun Abdu Yalil bin Amr menolak melakukan tugas tersebut, karena khawatir diperlakukan seperti Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi sepulangnya dari Rasulullah SAW. Abdu Yalil bin Amr berkata, ‘Aku tidak mau melakukan tugas tersebut kecuali jika kalian juga mengutus beberapa orang bersamaku’. Akhirnya mereka sepakat untuk mengirim dua orang dari para sekutu dan tiga orang dari Bani Malik bersama Abdu Yalil bin Amr, jadi jumlah mereka adalah enam orang.

Selain mengirim Abdu Yalil bin Amr, mereka mengirim Al-Hakam bin Amr bin Wahb bin Muattib, Syurahbil bin Ghailan bin Salamah bin Muattib. Dari Bani Malik adalah Utsman bin Abu Al-Ash bin Bisyr bin Abdu Duhman saudara Bani Yasar, Aus bin Auf saudara Bani Salim, dan Numair bin Kharasyah bin Rabi’ah saudara Bani Al-Harits. Abdu Yalil berangkat bersama mereka dan yang menjadi pemimpin rombongan adalah Abdu Yalil bin Amr sendiri. Abdu Yalil bin Amr tidak mau keluar kecuali dengan mereka karena takut diperlakukan seperti Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi dan juga agar setiap orang dari mereka sibuk dengan kaumnya jika telah pulang dari Rasulullah. Ketika mereka berenam mendekati Madinah dan berhenti di Qanat, di sana, mereka bertemu Al-Mughirah bin Syu’bah yang sedang mendapat giliran menggembala unta para sahabat Rasulullah karena penggembalaan unta-unta tersebut dibagi secara bergilir di antara para sahabat. Ketika Al-Mughirah bin Syu’bah melihat orang-orang Tsaqif tersebut, ia meninggalkan unta-unta tersebut dijaga mereka, kemudian ia memacu kudanya untuk memberi kabar gembira kepada Rasulullah tentang keda-tangan orang-orang Tsaqif kepada beliau. Sebelum bertemu dengan Ra-sulullah, Al-Mughirah bin Syu’bah bertemu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia bercerita kepada Abu Bakar tentang kedatangan orang-orang Tsaqif bah-wa mereka datang untuk berbaiat dan masuk Islam dengan ketentuan Rasulullah membuat beberapa syarat untuk mereka dan mereka mendapat surat dari beliau tentang kaum, negeri, dan harta mereka.

Di sisi lain, Al-Mughirah bin Syu’bah keluar menemui sahabat-sahabatnya, kemudian beristirahat bersama mereka dan mengajari mereka bagaimana cara mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah, namun mereka tetap mengucapkan salam Jahiliyah kepada beliau. Ketika orang-orang Tsaqif tiba di tempat Rasulullah, kubah dipasang untuk mereka di salah satu pojok masjid seperti yang mereka mau, dan Khalid bin Sa’id bin Al-Ash yang berjalan mondar-mandir antara mereka dan Rasulullah. Mereka menulis perjanjian dan orang yang menulisnya ialah Khalid bin Sa’id bin Al-Ash. Mereka tidak makan makanan yang datang dari Rasulullah hingga dimakan terlebih dahulu oleh Khalid bin Sa’id bin Al-Ash, hingga akhirnya mereka masuk Islam dan selesailah penulisan surat perjanjian tersebut. “Ketika orang-orang Tsaqif masuk Islam dan Rasulullah SAW membuat surat perjanjian untuk mereka, beliau mengangkat Utsman bin Abu Al-Ash sebagai pemimpin mereka. Utsman bin Abu Al-Ash adalah orang termuda dari mereka, orang yang paling bersemangat untuk mendalami agama, dan mempelajari Al-Qur’an. Abu Bakar berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku lihat anak muda ini (Utsman bin Abu Al-Ash) adalah orang-orang Tsaqif yang paling bersemangat untuk mendalami agama dan mempelajari Al-Qur’an’.”

“Ketika delegasi Tsaqif menyelesaikan urusan mereka dan mereka hendak pulang ke negeri mereka, Rasulullah SAW mengirim Abu Sufyan bin Harb dan Al-Mughirah bin Syu’bah untuk menghancurkan berhala Al-Lata, kemudian kedua sahabat tersebut berangkat bersama delegasi Tsaqif. Ketika mereka semua tiba di Thaif, Al-Mughirah bin Syu’bah ingin mendahulukan Abu Sufyan bin Harb, namun Abu Sufyan bin Harb menolak dan berkata, ‘Engkau sendiri yang harus terlebih dahulu masuk kepada kaummu’. Sedang Abu Sufyan bin Harb menetap dengan kekayaannya di Dzu Al-Hudum*. Ketika Al-Mughirah bin Syu’bah telah ma-suk kepada kaumnya, ia naik ke atas berhala Al-Lata kemudian memu-kulnya dengan cangkul dengan dilindungi kaumnya, Bani Muattib, karena khawatir Al-Mughirah bin Syu’bah dipanah atau dibunuh seperti hal-nya Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi. Ketika itulah, wanita-wanita Tsaqif keluar dengan tidak mengenakan kerudung dan menangisi berhala Al-Lata, sambil berkata, ‘Sang pelindung**, Al-Lata, pasti akan ditangisi Ia dibiarkan begitu saja oleh orang-orang hina Yang tidak bisa bertarung dengan baik’.” “Ketika Al-Mughirah bin Syu’bah memukul berhala Al-Lata dengan kapak, Abu Sufyan bin Harb berkata tentang berhala Al-Lata, ‘Hancurlah engkau. Binasalah engkau’. Setelah Al-Mughirah bin Syu’bah menyelesaikan penghancuran berhala Al-Lata, mengambil kekayaan dan perhiasan yang ada padanya, ia memberikannya kepada Abu Sufyan bin Harb. Perhiasan berhala Al-Lata tersebut dikumpulkan dan kekayaannya yang terdiri dari emas dan kain jahitan.

Jauh sebelum itu, Abu Mulaih bin Urwah dan Qarib bin Al-Aswad menghadap kepada Rasulullah sebelum kedatangan delegasi Tsaqif terbunuh –ketika Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi– karena ingin berpisah dengan Tsaqif dan tidak bersepakat dengan mereka demi hal apa pun selama-lamanya. Kedua orang tersebut akhirnya masuk Islam. Rasulullah SAW bersabda kepada keduanya, ‘Tunjuklah siapa saja yang kalian inginkan menjadi pemimpin kalian’. Kedua orang tersebut menjawab, ‘Kami mengangkat Allah dan RasulNya sebagai pemimpin kami’. Rasulullah bersabda, ‘Angkatlah paman kalian, Abu Sufyan bin Harb sebagai pemimpin kalian’. Kedua orang tersebut menjawab, ‘Ya, pemimpin kami adalah paman kami Abu Sufyan bin Harb’. Ketika orang-orang Thaif masuk Islam dan Rasulullah SAW mengirim Abu Sufyan bin Harb dan Al-Mughirah bin Syu’bah untuk menghancurkan berhala Al-Lata, Abu Mulaih bin Urwah meminta Rasulullah membayar utang ayahnya, Urwah bin Mas’ud, dengan kekayaan berhala terse-but. Rasulullah bersabda kepada Abu Mulaih bin Urwah, ‘Ya, aku akan membayarnya’. Qarib bin Al-Aswad berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, bayarlah juga utang Al-Aswad –karena Urwah bin Mas’ud dan Qarib adalah saudara sekandung–.’ Rasulullah bersabda, ‘Tidak, karena Al-Aswad meninggal dunia dalam keadaan musyrik’. Qarib bin Al-Aswad berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, tapi engkau menyambung silaturahim dengan orang muslim yang masih mempunyai hubungan kekerabatan –yang ia maksud ialah dirinya sendiri–? Utang tersebut memang harus aku bayar, namun akulah yang meminta dengan-nya’. Kemudian Rasulullah memerintahkan Abu Sufyan bin Harb untuk membayar utang Urwah bin Mas’ud dan Al-Aswad dengan kekayaan ber-hala Al-Lata tersebut.

Ketika Al-Mughirah bin Syu’bah telah mengumpulkan kekayaan berhala Al-Lata, ia berkata kepada Abu Sufyan bin Harb, ‘Sesungguhnya Rasulullah menyuruhmu membayar utang Urwah bin Mas’ud dan Al-Aswad, kemudian Abu Sufyan bin Harb membayar utang keduanya”. “Surat Rasulullah SAW yang beliau tulis untuk penduduk Thaif ialah sebagai berikut, ‘Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad Nabi dan utusan Allah kepada kaum Mukminin, sesungguhnya pohon Idhaah di lembah Wajj*** tidak boleh ditebang. Barangsiapa diketahui mengerjakan salah satu dari hal tersebut, ia dicambuk dan pakaiannya dicopot. Jika ia bertindak lebih jauh, ia diambil kemudian dibawa kepada Nabi Muhammad. Ini perintah Nabi Muhammad Rasulullah’. Surat tersebut ditulis Khalid bin Sa’id atas perintah Rasulullah. Tidak ada orang menentang surat tersebut, karena jika ia menentangnya, ia menzhalimi dirinya sendiri terhadap apa yang telah diperintahkan Rasulullah kepadanya”.