Abbas bin Abdul-Muththalib (Arab: العباس بن عبد المطلب) (lahir 566 – wafat 653) adalah paman dan Sahabat dari Nabi Muhammad. Keturunan dari Abbas-lah yang menjadi golongan khalifah yang dikenal dengan nama Bani Abbasiyah yang pernah berkuasa di Baghdad. Ia adalah paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan salah seorang yang paling akrab dihatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu beliau senantiasa berkata menegaskan, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku." Di zaman Jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Ia pemah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam bai'at al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram. Pada waktu Abbas masih anak-anak ia pernah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama antaranya Abbas ditemukan, maka ia menepati nazamya itu
Istrinya terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya bemama al-Fadhal. Wajahnya tampan. Ia duduk dibelakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan haji wada'-nya. Ia meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit amuas. Anak-anaknya yang lain sebagai berikut ; yaitu anak kedua, Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma'bad, mati syahid di Afrika. Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya,dan murah hati meninggal dunia di Madinah. Kelima, Puterinya, Ummu Habibah, tidak banyak dibicarakan oleh sejarah.
Ia selalu menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Ka'bah. Ka'ab bin Malik mengutarakan, "Kami (saya dan al-Barra' bin Ma'rur) mencari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami tidak tahu dan tidak mengenal Rasulullah sebelumnya. Kami bertemu dengan seorang penduduk kota Mekkah. Kami tanyakan di mana kami bisa menemui Rasulullah. Ia balik bertanya, 'Apakah kalian berdua mengenalnya?' Kami menjawab, 'Tidak!'. Ia lalu bertanya, 'Kalian mengenal Abbas bin Abdul Muththalib, pamannya?' Kami menjawab, 'Ya!' Memang kami sudah mengenalnya karena ia sering datang ke negeri kami membawa dagangan. Orang tadi lalu berkata, 'Kalau kalian masuk ke Masjidil Haram, orang yang duduk di sebelah Abbas itulah orang yang kalian cari!". Kemudian, kami masuk ke Masjidil Haram. Ternyata, kami menemukan Abbas duduk di sana dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di sebelahnya".
Abbas radhiallahu 'anhu mempunyai peran penting yang tidak bisa diabaikan dalam baiat al-Aqabah. Ia orang pertama yang berpidato dalam majelis itu. Kata-katanya menunjukkan pengetahuannya yang luas dan pemikiran yang cerdas tentang berbagai persoalan. Ia ingin mengenali hakikat kaum Anshar dan membangkitkan kesiap siagaan mereka dalam berperang menghadapi musuh. Cerahlah wajah Abbas mendengarkan keterangan mereka itu dan amanlah rasanya untuk menyerahkan keponakannya itu, seorang yang paling dekat di hatinya. Rasulullah SAW kemudian membaiat mereka dan Abbas mengambil tangan Rasulullah SAW untuk mengukuhkan baiat itu. Saat Rasulullah SAW berhijrah ke Yatsrib Abbas tinggal di Mekah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin dan mengirimkan berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar. Rasulullah SAW tahu bahwa Abbas dan keluarganya dipaksa berperang oleh Quraisy sedangkan mereka tidak berdaya mengelak.
Rasulullah bersabda, "Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim dan lain-lain yang terpaksa keluar. Mereka tidak mempunyai kepentingan untuk memerangi kami. Siapa di antara kalian yang menjumpai mereka, orang-orang dari Bani Hasyim, janganlah dibunuh; siapa yang menjumpai Abbas bin AbduI Muththalib, paman Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam., janganlah di bunuh karena ia keluar berperang karena terpaksa".
Dalam Perang Badar Abbas berhasil ditawan oleh Abul Yusr, Ka'ab bin Amru, yang perawakannya lemah. Rasulullah bertanya, "Ya Abal Yusr, bagaimana kau bisa menawan Abbas?" "Ya Rasulullah, aku dibantu oleh seorang yang belum pernah kulihat sebelum dan sesudah itu," jawab Abul Yusr. "Kau dibantu oleh seorang malaikat yang pemurah," sabda Rasulullah. Ketika Abbas jatuh sebagai tawanan, pertanyaan pertama yang terlontar adalah tentang keadaan Muhammad. Abbas diborgol dan dikumpulkan bersama tawanan lainya. Kiranya ikatan terlalu keras hingga ia merintih kesakitan. Rintihan itu terdengar Rasulullah dan Beliau jadi gelisah. Shahabat yang melihatnya belum tidur, menegurnya, "Wahai Nabi Allah, sudah jauh malam, engkau belum tidur?" "Aku mendengar riuntihan Abbas," jawab Nabi. Orang itu lalu pergi melonggarkan ikatannya. Rasulullah bertanya lagi, "Mengapa sekarang aku tidak mendengarkan rintihannya?" "Aku longgarkan ikatannya ya Rasulullah," jawab shahabat "Lakukanlah juga terhadap semua tawanan lainnya," perintah Nabi.
Pagi harinya, semua tawanan dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Akhirnya, sampai giliran Abbas. Nabi SAW bersabda, "Ya Abbas, tebuslah dirimu dan keponakanmu aqil bin Abi Thalib, Naufal bin al-Harits dan teman karibmu Utbah bin Amru bin Jahdam karena engkau seorang kaya." "Ya Rasulullah, saya ini seorang Muslim, tetapi saya dipaksa ikut berperang oleh mereka," ucap Abbas. "Allah saja yang Maha Tahu dengan keislamanmu itu : kalau pengakuanmu itu benar, Allah akan mengganjarmu, namun aku melihatmu dari segi lahirmu maka bayarlah tebusanmu itu." Aku tidak mempunyai uang, ya Rasulullah." "Mana uang yang kau simpan pada Ummul Fadhal, isterimu, ketika kau hendak keluar ikut berperang, lalu pesanmu kepadanya, 'Kalau aku tewas dalam peperangan, uang itu dibagikan antara kau, Fadhal, Abdullah, Ubaidullah dan Qatsam.?" tanya Rasulullah. "Dari mana kau tahu ini padahal aku tidak pernah memberitahukan hal itu kepada siapa pun?" tanya Abbas "Allah SWT Yang memberitahukan rahasiamu itu," jawab Nabi. "Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan engkau benar-benar rasul Allah, bahwa kau seorang yang jujur."
Pada saat itu, turunlah firman Allah SWT. "Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu:"Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripada mu dan Dia akan mengampuni kamu". Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.,S. al-Anfal: 70) Abbas berkomentar, "Allah berkenan menepati janji-Nya kepadaku, memberikan kebaikan lebih dari apa yang diambil : 20 uqiyah diganti dengan 20 orang budak. Kini, aku sedang menantikan pengampun-Nya. Aku diberi kuasa mengurus air zamzam dan aku bisa merasa bangga lebih dari itu, meskipun aku memiliki semua harta penduduk kota Mekkah. Kini, aku sedang menantikan pengampunan-Nya." Akan tetapi, darimana ia memiliki harta bila membeli dua puluh orang budak dan tiap budak memiliki modal edar yang diperdagangkan? Ibnu Sa'ad dalam bukunya, ath-Thabaqat al-kubra, menyebutkan bahwa al-Ala' bin al-Hadhrami mengirimkan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Suatu saat di Madinah terjadi pertengkaran antara seseorang dengan Abbas, yang berakar sejak Jahiliah, di mana orang itu memak ayah Abbas. Gangguan orang itu terhadap Abbas terjadi berulang sehingga menyakitkan hatinya, lalu ia ditamparnya. Kabilah orang itu tidak senang, mereka akan menuntut balas. Mereka berkata, "Demi Allah, kami akan menamparnya seperti ia menampar saudara kami!" Ancaman mereka itu terdengar oleh Rasulullah SAW, lalu beliau mengumpulkan kaum muslimin dan naik ke atas mimbar, seraya memanjatkan puji kepada Allah SWT dan bersabda, "Wahai para hadirin, tahukah kalian, siapa orang yang paling mulia di sisi Allah Subhânahu wata'âla?" "Engkau, ya Rasulullah!" jawab hadirin. "Tahukah kalian bahwa Abbas itu dariku dan aku darinya? Janganlah kalian mengumpat orang-orang yang sudah mati, jangan sampai menyakiti kita yang masih hidup." Kabilah orang itu datang mengahadap Rasulullah seraya berkata, "Ya Rasulullah, kami mohon perlindungan Allah dari kegusaranmu, maafkanlah dosa kami, ya Rasulullah."
Pada suatu hari, Abbas datang menghadap Rasulullah SAW dan bermohon, "Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?" Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa orang, namun Rasulullah SAW tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan dan tidak ingin pamannya dibebani tugas pemerintahan. Ia menjawab harapan pamannya itu dengan manis dan penuh pengertian, "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada menghitung jabatan." Ternyata Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah SAW, tetapi malah Ali bin Abi Thalib lalu berkata kepada Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!" Sekali lagi Abbas menghadap Rasulullah SAW meminta seperti yang dianjurkan Ali bin Abi Thalib itu, lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya, "Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran) dosa orang."
Rasulullah SAW seorang yang paling akrab dan paling kasih kepadanya, tidak mau mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus sedekah, bahkan ia tidak diberi kesempatan dan harapan mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi, tetapi menekannya supaya lebih menekuni soal-soal ukhrawi. Untuk yang ketiga kalinya, pamannya itu datang menghadapnya dan berharap dengan penuh kerendahan hati, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut dan ajalku sudah hampir. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!" Rasulullah SAW menjawab, "Ya Abbas, engkau pamanku dan aku tidak berdaya sedikitpun dalam masalah yang berkenaan dengan Allah, tetapi mohonlah selalu kepada Tuhanmu ampunan dan kesehatan!" Sesudah Rasulullah SAW menuiakan risalah Allah SWT dengan baik, manyampaikan agama Nya yang lengkap kepada para pewarisnya, maka ia kembali ke rahmatullah dengan tenang, ternyata Abbas orang yang paling merasa kesepian atas kepergiannya.
Abbas hidup terhormat di bawah pemerintrahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian menyusul pemerintahan Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu.. Pada suatu hari, ketika Khalifah Umar pergi ke masjid dengan pakaian rapi hendak menghadiri shalat jamaah, tiba-tiba pancuran air menumpahkan airnya dan mengenai pakaian Umar. Ia kembali pulang untuk mengganti pakaian dan memerintahkan supaya pancuran itu dibuka. Sesudah beliau selesai shalat, datanglah Abbas seraya berkata, "Demi Allah, pancuran itu diletakkan oleh Rasulullah SAW.." Khalifah Umar menjawab, "Aku mohon kepadamu supaya engkau memasang kembali pancuran itu di tempat yang diletakkan oleh Rasulullah dengan menaiki pundakku." Abbas menerima baik harapan Umar untuk memperbaiki kesalahannya itu. Hati Umar yang keras bergetar ketakutan, bagaimana ia memerintahkan mencabut apa yang dipasang Rasulullah. Ia rela menebus kesalahannya itu dengan menyuruh Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ketempatnya semula.
Pada pemerintahan Khalifah Umar, terjadilah paceklik dan kemarau ganas. Orang-orang berdatangan kepada Khalifah mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya. Umar menganjurkan kepada muslimin yang berkemampuan supaya membantu saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan itu. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat. Ka'ab masuk menemui Khalifah Umar mengutarakan, "Ya Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka." Umar berkata, "Ini dia paman Rasulullah SAW dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan bani Hasyim." Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan paceklik itu, kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada Mu bersama dengan paman Nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai putus asa!"
Abbas lalu meneruskan doanya kepada Allah SWT, "Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuhan dan suburkanlah semua air susu". Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini, umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama diri kami dan keluarga kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama makhluk-Mu yang tidak bicara, atas nama hewan ternak kami. Ya Allah, hujanilah kami dengan hujan keselamatan yang berdaya guna. Ya Allah, kami mengadukan semua bencana orang yang menderita kelaparan, telanjang, ketakutan dan semua orang yang menderita kelemahan. Ya Allah selamatkan mereka dengan hujan-Mu sebelum mereka berputus asa dan celaka. Sesungguhnya tidak akan berputus asa dengan rahmat karunia-Mu kecuali orang-orang yang kafir."
Ternyata doanya itu langsung diterima dan disambut Allah Subhânahu wata'âla. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah Subhânahu wata'âla dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Mekah dan Madinah." Abbas hidup terhormat, baik oleh kaum muslimin maupun oleh para Khulafaur Rasyidin. Kalau ia berjalan dan berpapasan dengan Umar atau Utsman yang sedang berkendaraan, keduanya turun dari kendaraannya, seraya berkata, "Paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.!" Dan sudah menjadi sunnatullah, setiap permulaan ada penghabisannya, setiap perjalanan ada perhentiannya, demikian pula dengan Abbas radhiallâhu 'anhu, perjalanan hidupnya terhenti dan kembali ke rahmatullah menyusul keponakkannya Shallallâhu 'alaihi wasallam dan rekan-rekannya yang lain, pada hari Jumat tanggal 12 Rajab 32 Hijrah, dalam usia 82 tahun, dan dikebumikan di al-Baqi' di Madinah, rahimullah wa radhiallahu'anhu.