Hamzah bin Abdul-Muththalib (bahasa Arab: حمزه بن عبدالمطلب) adalah sahabat sekaligus paman dan saudara sepersusuan Nabi Muhammad SAW. Ia memiliki julukan "Singa Allah" karena kepahlawanannya saat membela Islam. Pada hari pernikahan Abdullah dengan Aminah, Abd'l-Muttalib juga menikah dengan Hala, puteri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia. Selama beberapa waktu Nabi disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan. Hamzah pamannya dan saudaranya sesusu yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, Beliau adalah seorang laki-laki yang kuat dan ditakuti. Ia mempunyai kegemaran berburu. Bila ia kembali dan berburu, terlebih dulu mengelilingi Ka'bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.
Hari itulah, bilamana ia datang dan mengetahui bahwa kemenakannya itu mendapat gangguan Abu Jahl, ia meluap marah. Ia pergi ke Ka'bah, tidak lagi ia memberi salam kepada yang hadir di tempat itu seperti biasanya, melainkan terus masuk kedalam mesjid menemui Abu Jahl. Setelah dijumpainya, diangkatnya busurnya lalu dipukulkannya keras-keras di kepalanya. Beberapa orang dan Banu Makhzum mencoba mau membela Abu Jahl. Tapi tidak jadi karena kuatir mereka akan timbul bencana dan membahayakan sekali, dengan mengakui bahwa ia memang mencaci maki Muhammad dengan tidak semena-mena.
Kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam. Ia berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkurban di jalan Allah sampai akhir hayatnya. Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat Muhammad dan kawannya makin kuat. Tatkala itu Muhammad sedang berkumpul dengan sahabatnya yang tidak ikut hijrah, dalam sebuah rumah di Shafa. Di antara mereka ada Hamzah pamannya, Ali bin Abi Talib sepupunya, Abu Bakr b. Abi Quhafa dan Muslimin lain. Pertemuan mereka ini diketahui 'Umar. Iapun pergi ketempat mereka, ia mau membunuh Muhammad. Dengan demikian bebaslah Quraisy dan kembali mereka bersatu, setelah mengalami perpecahan, sesudah harapan dan berhala mereka hina. Ia keluar membawa hati yang sudah lembut dengan jiwa yang tenang sekali. Ia langsung menuju ke tempat Muhammad dan sahabatnya itu sedang berkumpul di Shafa. Ia minta ijin akan masuk, lalu menyatakan dirinya masuk Islam. Dengan adanya Umar dan Hamzah dalam Islam, maka kaum Muslimin telah mendapat benteng dan perisai yang lebih kuat.
Meskipun Nabi sudah berbesar hati karena adanya Hamzah dan Umar dan yakin bahwa Quraisy tidak akan terlalu membahayakan, mengingat adanya pertahanan pihak keluarganya dari Banu Hasyim dan Banu Abd'l-Muttalib, tapi ia melihat risalah Tuhan terhenti hanya pada lingkaran pengikutnya saja. Mereka yang terdiri dari orang-orang lemah dan sedikit jumlahnya hampir saja punah tergoda meninggalkan agamanya kalau tidak segera datang pertolongan Tuhan. Tapi sesudah Allah memperkuat Islam dengan Hamzah dan Umar dan kaum Muslimin mulai menjadi kuat di Mekah. Pihak Quraisy menyadari bahwa penderitaan yang dialami Muhammad dan sahabatnya takkan mengubah kehendak orang menerima agama Allah, untuk kemudian berlindung kepada Umar dan Hamzah. Sewaktu Abu Talib sudah berusia 80 tahun lebih. orang Quraisy mengetahui ia dalam keadaan sakit yang akan merupakan akhir hayatnya, mereka kuatir apa yang akan terjadi nanti antara mereka dengan Muhammad dan sahabatnya. Apalagi sesudah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras.
Suatu waktu Nabi Muhammad mengirimkan pernah pamannya Hamzah b. Abd'l-Muttalib ke tepi laut (Laut Merah) di sekitar 'Ish dengan membawa 30 orang pasukan yang terdiri dari kalangan Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat ini ia bertemu dengan Abu Jahl b. Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri dari penduduk Mekah dan bahwa Hamzah sudah siap akan memerangi Quraisy tapi lalu dilerai oleh Majdi b. 'Amr yang bertindak sebagai pendamai kedua belah pihak. Masing-masing kelompok itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran.
Adanya satuan-satuan yang oleh Nabi a.s. pimpinannya diserahkan masing-masing kepada Hamzah, 'Ubaida bin'l-Harith dan Sa'd b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan yang telah diadakan dengan Banu Dzamra, Banu Mudlij, dan lain-lain, Pasukan Hamzah tidak lebih dari 30 orang dari Muhajirin, pasukan 'Ubaida tidak lebih dari 60 orang, demikian juga pasukan Sa'd yang menurut suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain 20 orang. Sedang petugas-petugas yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy biasanya berlipat ganda jumlahnya.
Sejak Muhammad tinggal di Medinah dan mulai mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah setempat dan dengan daerah yang berdekatan, pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan perlengkapannya. Baik Hamzah, 'Ubaida ataupun Sa'd, betapapun keberanian mereka itu sebagai kepala satuan-satuan Muhajirin, namun persiapan yang ada pada mereka tidak cukup memberi semangat untuk melakukan perang. Bagi mereka ini semua kiranya cukup dengan menakuti Quraisy saja, tanpa mengadakan perang; kecuali apa yang dilakukan orang tentang anak panah yang pernah dilepaskan Sa'd itu. Inilah yang menyebabkan Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu keduanya dilerai oleh Majdi b. 'Amr.
Selanjutnya seringnya satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga ini pula yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi - setelah melihat kecongkakan Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin - ingin mengadakan perdamaian dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sepanjang rute perdagangan itu serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang beritanya tentu akan sampai juga kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau mereka mau insaf dan kembali memikirkan perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
Tipu-daya inilah yang sudah terjadi. Dan terjadinya ini terhadap orang semacam Hamzah orang yang cepat marah. Untuk menghentikan pertempuran tidak cukup hanya dengan perantaraan seorang pemisah yang mengajak berdamai padahal belum terjadi suatu kontak senjata. Kemudian berhentinya pertempuran itupun dengan terhormat, dengan suatu siasat yang sudah teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud mencapai tujuan tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan - dari satu segi guna menakut-nakuti pihak Yahudi dan dari segi lain suatu usaha ke arah persetujuan dengan pihak Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh dalam menjalankan dakwah agama serta upacara keagamaan yang sebenarnya memang tidak perlu sampai terjadi perang.
Dengan dipercepatnya pertempuran itu Aswad b. 'Abd'l-Asad (Makhzum) keluar dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke tengah-tengah barisan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat. Tetapi ketika itu juga Hamzah b. Abd'l-Muttalib segera menyambutnya dengan satu pukulan yang mengenai kakinya hingga ia tersungkur dengan kaki yang sudah berlumuran darah. Sekali lagi Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata pedang memang tak ada yang tampak lebih tajam daripada darah. Juga tak ada sesuatu yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa manusia daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang teman-temannya berdiri menyaksikan.
Begitu melihat Aswad jatuh, maka tampillah 'Utba b. Rabi'a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan Walid b. 'Utba anaknya, sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu disambut oleh pemuda-pemuda dari Medinah. Ketika itu juga yang tampil menghadapi mereka adalah Hamzah b. Abd'l-Muttalib, Ali b. Abi Talib dan 'Ubaida bin'l-Harith. Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba, juga Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid, mereka itu ditewaskan. Lalu keduanya segera membantu 'Ubaida yang kini sedang diterkam oleh 'Utba.
Sesudah Quraisy sekarang melihat kenyataan ini mereka semua maju menyerbu. Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilal tak dapat diredakan lagi dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu'adh b. 'Amr b. Jamuh juga dapat menewaskan Abu Jahl b. Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan pahlawan-pahlawan Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah pertempuran sengit itu. Mereka sudah lupa akan dirinya masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya yang hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.
Perang pun lalu pecah. Budak-budak Quraisy serta 'Ikrima b. Abi Jahl yang berada di sayap kiri, berusaha hendak menyerang Muslimin dari samping, tapi pihak Muslimin menghujani mereka dengan batu sehingga Abu 'Amir dan pengikut-pengikutnya lari tunggang-langgang. Ketika itu juga Hamzah b. Abd'l-Muttalib berteriak, membawa teriakan perang Uhud : "Mati, mati!" Lalu ia terjun ketengah-tengah tentara Quraisy itu. Ketika itu Talha b. Abi Talha yang membawa bendera tentara Mekah berteriak pula: "Siapa yang akan duel?"
Lalu Ali b. Abi Talib tampil menghadapinya. Dua orang dari dua barisan itu bertemu. Cepat-cepat Ali memberikan satu pukulan, yang membuat kepala lawannya itu belah dua. Nabi merasa lega dengan itu. Ketika itu juga kaum Muslimin bertakbir dan melancarkan serangannya. Dengan pedang Nabi di tangan dan mengikatkan pita maut di kepala, Abu Dujane pun terjun kedepan. Dibunuhnya setiap orang yang dijumpainya. Barisan orang-orang musyrik jadi kacau-balau. Kemudian ia melihat seseorang sedang mencencang sesosok tubuh manusia dengan keras sekali. Diangkatnya pedangnya dan diayunkannya kepada orang itu. Tetapi ternyata orang itu adalah Hindun bt. 'Utba. Ia mundur. Terlalu mulia rasanya pedang Rasul akan dipukulkan kepada seorang wanita.
Hamzah b. Abd'l-Muttalib adalah seorang pahlawan Arab terbesar dan paling berani. Ketika terjadi perang Badr dialah yang telah menewaskan ayah dan saudara Hindun, begitu juga tidak sedikit orang-orang yang dicintainya yang telah ditewaskan. Seperti juga dalam perang Badr, dalam perang Uhud inipun Hamzah adalah singa dan pedang Tuhan yang tajam. Ditewaskannya Arta b. 'Abd Syurahbil, Siba' b. 'Abd'l-'Uzza al-Ghubsyani dan setiap musuh yang dijumpainya nyawa mereka tidak luput dari renggutan pedangnya.
Sementara itu Hindun bt. 'Utba telah pula menjanjikan Wahsyi, orang Abisinia dan budak Jubair (b. Mut'im) akan memberikan hadiah besar apabila ia berhasil membunuh Hamzah. Begitu juga Jubair b. Mut'im sendiri, tuannya yang pamannya telah terbunuh di Badr, mengatakan kepadanya: "Kalau Hamzah paman Muhammad itu kau bunuh, maka engkau kumerdekakan." Wahsyi sendiri dalam hal ini bercerita sebagai berikut : "Kemudian aku berangkat bersama rombongan. Aku adalah orang Abisinia yang apabila sudah melemparkan tombak cara Abisinia, jarang sekali meleset. Ketika terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia.
Tindakan Hamzah dan Abu Dujana yang telah memperlihatkan suatu teladan dalam arti kekuatan moril yang tinggi pada mereka itu. Suatu kekuatan yang telah membuat barisan Quraisy jadi lemas seperti rotan, membuat pahlawan-pahlawan Quraisy, yang tadinya di kalangan Arab keberaniannya dijadikan suri teladan, telah mundur dan surut. Setiap panji mereka lepas dari tangan seseorang, panji itu diterima oleh yang lain di belakangnya. Setelah Talha b. Abi Talha tewas di tangan Ali datang 'Uthman b. Abi Talha menyambut bendera itu, yang juga kemudian menemui ajalnya di tangan Hamzah. Seterusnya bendera itu dibawa oleh Abu Sa'd b. Abi Talha.
Saat pihak Quraisy dengan kemenangannya mereka girang sekali. Terhadap peristiwa perang Badr mereka merasa sudah sungguh dapat membalas dendam. Seperti kata Abu Sufyan: "Yang sekarang ini untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!" Tetapi isterinya, Hindun bint 'Utba tidak cukup hanya dengan kemenangan dan tidak cukup hanya dengan tewasnya Hamzah b. Abd'l-Muttalib, malah bersama-sama dengan wanita lain dalam rombongannya itu ia pergi lagi hendak menganiaya mayat-mayat Muslimin; mereka memotongi telinga-telinga dan hidung-hidung mayat itu, yang oleh Hindun lalu dipakainya sebagai kalung dan anting-anting.
Kemudian diteruskannya lagi, dibedahnya perut Hamzah, dikeluarkannya jantungnya, lalu dikunyahnya dengan giginya; tapi ia tak dapat menelannya. Begitu kejinya perbuatannya itu, begitu juga perbuatan wanita-wanita anggota rombongannya, bahkan kaum prianya pun turut pula melakukan kejahatan serupa itu, sehingga Abu Sufyan sendiri menyatakan lepas tangan dari perbuatan itu. Ia menyatakan, bahwa dia samasekali tidak memerintahkan orang berbuat serupa itu, sekalipun dia sudah terlibat di dalamnya. Bahkan ia pernah berkata, yang ditujukan kepada salah seorang Islam. "Mayat-mayatmu telah mengalami penganiayaan. Tapi aku sungguh tidak senang, juga tidak benci; aku tidak melarang, juga tidak memerintahkan."
Selesai menguburkan mayat-mayatnya sendiri. Quraisy pun pergi. Sekarang kaum Muslimin kembali ke garis depan guna menguburkan mayat-mayatnya pula. Kemudian Muhammad pergi hendak mencari Hamzah, pamannya. Bilamana kemudian ia melihatnya sudah dianiaya dan perutnya sudah dibedah, ia merasa sangat sedih sekali, sehingga ia berkata : "Takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti kau ini. Belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti kejadian ini." Lalu katanya lagi : "Demi Allah, kalau pada suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab."
Dalam kejadian inilah firman Tuhan turun. "Dan kalau kamu mengadakan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi kalau kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka yang berhati tabah (sabar). Dan hendaklah kau tabahkan hatimu, dan ketabahan hatimu itu hanyalah dengan berpegang kepada Tuhan. Jangan pula engkau bersedih hati terhadap mereka, jangan engkau bersesak dada menghadapi apa yang mereka rencanakan itu." (Qur'an, 16: 126 - 127)
Lalu Rasulullah memaafkan mereka, ditabahkannya hatinya dan ia melarang orang melakukan penganiayaan. Diselubunginya jenazah Hamzah itu dengan mantelnya lalu disembahyangkannya. Ketika itu Shafia bt Abd'l-Muttailb - saudara perempuannya - juga datang. Ditatapnya saudaranya itu, lalu ia pun menyembahyangkannya dan mendoakan pengampunan baginya. Nabi memerintahkan supaya korban-korban itu dikuburkan di tempat mereka menemui ajalnya dan Hamzah juga dikuburkan.
Sesudah itu kaum Muslimin berangkat pulang ke Medinah, dibawah pimpinan Muhammad, dengan meninggalkan 70 orang korban. Kepedihan terasa sekali melecut hati mereka; karena kehancuran yang mereka alami setelah mendapat kemenangan, karena rasa hina serta rendah diri yang menimpa mereka, setelah mendapat sukses yang gilang-gemilang. Semua kejadian itu ialah karena pasukan pemanah sudah melanggar perintah Nabi. Muslimin sudah terlalu sibuk mengurus rampasan perang dari pihak musuh.